Yab Sarpote
  • Home
  • ANATOMI SUNYI
  • Contact & Subscription
  • MEMOAR

catatan-catatan kami dalam pernikahan beda agama - #1

5/21/2022

0 Comments

 
Picture
Tulisan ini adalah catatan-catatan tentang pengalaman kami dalam pernikahan beda agama. Tiap hal yang kami anggap menarik akan kami tuliskan, kapan pun kami sempat, mungkin sampai kami mati.

Saya merupakan seorang laki-laki Katolik dan istri saya Muslim. Kami berdua tinggal di Indonesia. Di negara ini, seperti di banyak negara lain, seringkali hal berikut jadi persoalan: kami saling mencintai.

Namun, buat kami, agama bukanlah persoalan. Kasih selalu merupakan dasar pertama dan utama sebelum apa pun lainnya. Kasih merupakan rasa atau nilai universal yang dipunyai tidak hanya oleh manusia, tetapi juga sebagian makhluk berakal budi di bumi ini. 

Saya menganggap kasih atau cinta punya usia yang lebih purba, bahkan ketimbang agama-agama terorganisasi (organized religion) yang muncul di bumi ini, termasuk agama-agama Adam yang diwariskan kepada kami berdua. 

Seekor dinosaurus yang melindungi telur atau anaknya dari serangan predator lain tentu mendasarkan perilaku protektif tersebut pada cintanya kepada keturunannya, selain pada fakta bahwa proteksi adalah manifestasi insting bertahan hidup dan memperbanyak diri suatu spesies—insting asali makhluk hidup. 

Kita tahu, dinosaurus hidup antara 66-245 juta tahun yang lalu, Abraham ben Terah lahir sekitar 4172 tahun lalu (2150 BCE), sementara Adam dan Hawa diperkirakan lahir antara 120.000 hingga 156.000 tahun lalu, atau lahir saat Kitab Kejadian dituturkan lalu dituliskan?

Pada akhirnya, kami tiba pada sebuah pertanyaan: apakah kami ingin melihat perbedaan kami sebagai sebuah aib atau keindahan? Sebagai sebuah keseragaman atau keberagaman?

Namun, bagaimanapun kami mencari-cari jalan buntu atas pertanyaan itu, persoalan atas jawaban pertanyaan itu, argumentasi, ketakutan, ancaman, potensi konflik, dan pemisah yang mungkin muncul dari perbedaan kami tersebut, kami tetap tiba di sebuah dermaga yang sama. Demikianlah kami memutuskan untuk mengarungi lautan dengan kapal yang kami punya, tempat agama tidak dipaksakan kepada satu sama lain.

Butuh waktu untuk menyampaikan niat kami ini kepada orang tua kami. Butuh waktu untuk membuat orang tua kami memahami cara kami berpikir dan nilai-nilai yang ingin kami bawa ke dalam kehidupan pernikahan kami. Butuh waktu pula untuk membuat orang tua kami menyadari ada kebenaran-kebenaran lain di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan menghapus dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda. 

Dengan tekad dan kesabaran yang kami punya, akhirnya orang tua kami merestui pernikahan kami dengan dua cara, yaitu cara Islam dan cara Katolik, untuk menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yang ditiadakan, dan tidak ada keyakinan yang dipaksakan. Ini juga tanda bahwa setiap pilihan identitas dihargai dan dilindungi. Lebih lanjut, pernikahan kami turut disahkan oleh negara dalam sebuah Akta Pernikahan tanpa ada hambatan apa pun yang berarti.

(Soal landasan teologis tiap agama, teknis dan prosedur pernikahan dalam institusi keagamaan dan institusi negara, saya tidak akan membahasnya saat ini. Mungkin akan ada bagian khusus untuk menceritakan bagian tersebut kelak).

***

Seperti cara kami memandang suku, ras, latar belakang, etnis, dan label sosial lain dalam cara manusia mengkategorikan dirinya, agama bukanlah hal yang seharusnya mencerai-beraikan manusia, melainkan menyelaraskan dan menjadi salah satu obat atas berlarut-larutnya perpecahan spesies homo sapiens akibat berbagai konflik horizontal.

Setiap agama tentu saja memiliki kecenderungan untuk melestarikan dan memperbesar kekuatan dirinya sendiri, misalnya lewat penyebaran agama lewat berbagai cara, pewarisan agama orang tua kepada anak, dan larangan pernikahan beda agama. Kami berdua termasuk generasi yang merupakan pewaris agama orang tua-orang tua kami. Agama diturunkan secara otomatis, bukan direnungkan atau dipelajari terlebih dahulu lalu dipilih (atau tidak dipilih semuanya). 

Hal ini tentu sangat lazim dan masuk akal dilakukan bagi sebuah sistem kebenaran absolut dan tunggal seperti agama yang tentu punya seperangkat doktrin. Jika hanya dirinyalah jalan kebenaran, semua yang lain otomatis salah. Pada saat bersamaan, setiap agama mengklaim dirinyalah satu-satunya yang paling benar. Hal serupa sebetulnya berlaku bagi sistem kebenaran absolut dan tunggal lainnya, misalnya sebagian besar sistem identifikasi kewarganegaraan atau keanggotaan partai politik. Bisa bayangkan Megawati jadi ketua PDI-P sekaligus PPP? Kami sih bisa-bisa saja, tetapi sepertinya anggota fanatik masing-masing kubu partai politik tidak.

Kami adalah jenis manusia yang melihat diri kami sebagai anak kecil yang belum mengamini doktrin agama atau pun label-label segregasi sosial hingga habis. Anak kecil yang seperti ini menilai dan memperlakukan manusia lain dari cara manusia tersebut berperilaku, manusia sebagai manusia, tanpa label-label horizontal yang dilekatkan oleh sistem sosial kepadanya. 

Keponakan saya, misalnya, jauh lebih bucin dan dekat dengan istri saya daripada saya karena memang istri saya begitu ramah dan dekat dengan anak-anak kecil. Istri saya senang sekali menggunakan waktu istirahatnya selepas kerja untuk bermain dengan keponakan saya selama berjam-jam. Istri saya jauh lebih penuh kasih kepada anak kecil, ketimbang saya. Sementara itu, saya sendiri cenderung lebih dingin dan rasional kepada anak kecil. Kalau suasana hati saya sedang pas atau waktu saya sedang luang, saya mungkin menggunakan waktu tersebut untuk menanggapi polah anak-anak yang sulit saya pahami. Kalau saya sedang sibuk atau suasana hati saya sedang tidak pas, ya tidak.

Jadi, sekalipun saya adalah pamannya yang secara sosial beragama Katolik, agama serupa yang diwariskan kepadanya, keponakan saya tidak peduli. Hal yang dia pedulikan adalah bahwa istri saya jauh lebih penuh kasih kepadanya ketimbang saya. Jadi, fakta bahwa saya sering menyebalkan merupakan hal yang menentukan, ketimbang bagaimana cara saya berdoa. 

Menurut kami, ini merupakan cara pandang yang asali, jujur, dan apa adanya. Cara pandang inilah yang kami gunakan dalam memandang diri kami satu-sama lain dan menyikapi perbedaan label yang disematkan sistem sosial kepada kami.

Soal surga dan neraka, sebagaimana halnya soal “yang benar” dan “yang salah”, kami hanya bisa mempunyai pandangan. Sementara itu, kalau sudah terkait dengan hal transendental, hal yang tidak bisa diketahui ada atau tidaknya kecuali dengan "percaya", paling jauh ya kami hanya bisa percaya. Everyone is free to believe in anything, anyway. Everyone is free to believe in whatever they want to believe. 

Namun, siapa juga yang sudah pernah mati, pergi ke akhirat, lalu kembali hidup lagi dan memberikan kesaksian soal “yang benar” dan “salah”? Siapa yang bisa memastikan bahwa kami akan dibakar dalam kerak neraka paling panas hanya karena kami saling mencintai dan lelah dengan sekat-sekat yang terlanjur berkerak jauh sebelum kami lahir? Paling ya cerita-cerita soal hal tersebut, dan setiap agama lagi-lagi punya klaimnya sendiri soal hidup setelah kematian. 

Everyone is gambling, after all. And no breathing human knows what the dice will show when it stops rolling. Kami hanya tipe manusia yang tidak ingin ribut dan bertengkar (atau saling bunuh, sesuai catatan sejarah) di dunia ini gara-gara perjudian spiritual yang akan manusia ketahui jawabannya setelah tidak lagi di dunia ini (itupun kalau memang ada hidup setelah kematian seperti yang dibayangkan agama-agama Adam). Selain itu, tentu saja kami bukanlah tipe manusia yang senang melaknati diri kami sendiri akibat jatuh cinta pada manusia lain yang diwarisi agama berbeda.

Seperti halnya ada sebagian orang yang percaya bahwa cinta kami adalah aib, kami memilih untuk percaya bahwa cinta kami dapat mengatasi segala sesuatu, termasuk label-label sosial yang sudah ada sebelum kami lahir. Kami percaya bahwa cinta akan meluruhkan hati yang marah, membuka mata yang buta karena keseragaman, dan menjadi pengingat bahwa selalu ada kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini. Kalau hal ini bukanlah surga, saya sulit membayangkan surga seperti apa yang ada di kepala orang-orang beragama?

***

Pada suatu waktu, setelah sepasaran manten usai—hari pertama istri saya tinggal di rumah keluarga laki-laki setelah pernikahan, saya berbincang dengan ibu saya sementara istri saya beristirahat di kamar. Ibu saya merupakan semacam pemuka agama Katolik yang diberikan otoritas-otoritas khusus untuk mengajarkan agama Katolik dan melakukan pelayanan di gerejanya. Saat saya akan beranjak meninggalkan perbincangan tersebut, ibu saya berpesan kepada saya:

“Keran di kamar mandi kita itu sudah rusak. Airnya tidak bisa mengalir. Jangan lupa kamu perbaiki, buat istrimu wudu kalau dia akan salat”.

Saya mengangguk, dan tersenyum.
0 Comments

Apakah kita akan mati dalam sepi, seperti mesin?

4/23/2018

0 Comments

 
Picture
Buruh-buruh kebersihan di stasiun Maihama yang sudah berusia lanjut.

“Kinō no yoru wa nanji ni nemashita ka?” tanya saya dengan bahasa Jepang yang compang-camping. Semalam kamu tidur jam berapa?

“Watashi wa, gozen 2-ji ni ne” jawabnya. Jam 2 pagi.

“Shinjirarenai! Anata wa motto nemuru baka desu, Keiichi,” timpal saya. Serius? Kamu harus tidur lebih banyak, Keiichi.

Keiichi tersenyum, lalu meminum 2 cangkir sake. Malam ini dia hampir menghabiskan 1 liter sake sendirian. Dia baru tidur jam 2 pagi hari ini, lalu harus bangun jam 6 pagi untuk bekerja.

“Sudah biasa di Tokyo. Buruh kantoran tidur 4-5 jam hampir setiap hari, apalagi kalau ada acara besar seperti ini,” cerita Keiichi.

Saya menggelengkan kepala.

“Pantas saja banyak buruh kantoran Jepang mati saat bekerja ya?” tanya saya.

“Hai. Di meja kantor, di trotoar, di metro, di stasiun. Sore wa kanashī” jawabnya. Ini menyedihkan.

“O kinodoku ni” jawab saya. Saya turut sedih.

Hari itu adalah hari ke-5 saya bekerja di Tokyo. Ada sebuah konferensi industri yang harus saya hadiri selama satu minggu. Majikan saya membayari semua keperluan saya selama di Tokyo. Namun, sebagai gantinya, saya harus bekerja lembur rata-rata 3-4 jam hampir setiap hari untuk mengikuti semua jadwal konferensi.

Saya sendiri baru tidur jam 12 pada malam sebelumnya, dan harus bangun jam 7 pagi hari ini untuk mengejar jadwal metro. Kalau ini saya anggap keterlaluan, entah bagaimana Keiichi yang hampir setiap hari tidur 4-5 jam saja.

Keiichi bukan satu-satunya.
​
Saya tinggal di sebuah penginapan di Chiyoda-ku. Setiap hari saya menempuh 90 menit perjalanan metro menuju tempat konferensi di pinggiran Tokyo. Setiap hari pula saya berpapasan dengan buruh-buruh kantoran yang bergegas di trotoar, di metro, di stasiun, dan di simpang jalan.

​Banyak dari buruh kantoran ini tampak sangat letih. Mereka tertidur di kereta, di lorong-lorong bawah tanah subway, hingga pingsan di stasiun. Ini adalah hal yang tidak sekali dua kali saya saksikan. Tetapi yang sulit saya pahami, di tengah tekanan kerja tersebut, mereka selalu tampak berusaha teguh dan kuat.

Read More
0 Comments

Pak George dan Kenangan Penghuni Perpustakaan

12/10/2016

0 Comments

 
Picture
Mengenang George Junus Aditjondro berarti mengenang malam-malam panjang, menginap di perpustakaan mungilnya di Yogya. Saya, dan kawan-kawan aktivis yang rumahnya jauh atau tak punya tempat tinggal pasti sering sekali menginap di sini. Selain banyak buku, tempat ini juga nyaman untuk bertemu dengan kawan, berdiskusi dan berbincang.

Dulu dia mengontrak dua rumah mungil di Deresan, tak jauh dari penerbit Kanisius. Satu dijadikannya perpustakaan pribadi, satunya lagi rumah tinggal bersama istrinya, bu Erna. Perpus ini sering jadi tempat kumpul mahasiswanya, kawan, dan tempat singgah bagi aktivis luar kota yang datang ke Jogja. Ada satu ruang tamu, tempat kumpul dan berbincang. Ada dua kamar lain yang berisi rak-rak bukunya. Satu kamar terakhir adalah tempat dia menghabiskan waktu untuk menulis dan istirahat. Hanya sesekali saja dia menginap di kamar ini. “Kalau sedang suntuk di rumah atau tidak ada tempat lain untuk menulis,” katanya suatu kali.

Orang bebas melakukan apa saja, kecuali dua hal: membuang puntung rokok sembarangan dan tidur di ranjangnya. Kalau dua hal ini dilanggar, dia pasti marah besar. Suatu kali dia marah mendapati banyak puntung rokok di halaman. Pernah juga dia mengomel saat melihat seprei kasurnya kusut. Alhasil, kami kena semprot. Padahal, tak satu pun dari kami yang tidur di sana. Tapi kami tak berani membantah. Pak George suka meledak kalo marahnya ditanggapi.

Read More
0 Comments

DAWAI YANG PUTUS: VICTOR JARA DAN KUDETA MILITER CHILE 1973

10/28/2016

3 Comments

 
Terjemahan “The life and death of Victor Jara – a classic feature from the vaults” karya Andrew Tyler. Tulisan Tyler ini merupakan arsip klasik NME dari tahun 1975 yang diambil dari Rock’s Backpages, sebuah arsip daring jurnalisme musik yang ditulis oleh kontributor lepas hingga pers arus-utama sejak tahun 1950-an hingga sekarang, The Guardian memuatnya ulang pada 18 September 2013 untuk memperingati 40 tahun dibunuhnya Victor Jara dalam kudeta milter di Chile.

Terjemahan oleh Yab Sarpote.

Picture
Setelah merenungkan kelamnya akhir dunia, David Bowie* menyampaikan kebenaran yang mengerikan. Dengan sepasang kacamata Republikan Muda dan dagu yang dipinjamnya dari Barry Goldwater, Bowie bercerita bagaimana rock’n’roll adalah “nenek ompong” dan “aib yang memalukan”.

Bahwa akan ada lonjakan tiba-tiba dari perut Amerika. Lonjakan ini akan disebut Dominasi Fasis atas Demokrasi Barat dan semuanya akan baik-baik saja jika orang sudah terbiasa dengannya.

“Akan ada seorang tokoh politik,” katanya, “sebentar lagi yang akan menyapu Amerika layaknya rock’n’roll awal. Hanya perlu ada front kanan ekstrim yang membuat semua orang jatuh hati, lantas membereskan semua kekacauan. Maka, akan muncul bentuk baru liberalisme. Jadi, munculnya pemerintah sayap kanan ekstrim adalah kemungkinan terbaik. Ia akan jadi hal positif yang, setidaknya, memantik gonjang-ganjing di masyarakat, dan rakyat akan punya dua pilihan: menerima kediktatoran atau menumbangkannya.

Read More
3 Comments

    arsip

    May 2022
    August 2021
    March 2020
    August 2019
    December 2018
    November 2018
    April 2018
    December 2016
    October 2016
    June 2016
    February 2016
    December 2015
    January 2014

    kategori

    All
    Catatan Perjalanan
    Kisah
    Panggung
    Tentang Kawan
    Wacana

    RSS Feed


Powered by Create your own unique website with customizable templates.