Profit penulis dari penjualan buku ini akan diserahkan seluruhnya kepada para penyintas pembantaian atau pembunuhan massal 1965 yang sudah berusia lanjut, rentan, sakit, dan membutuhkan bantuan.
ANATOMI SUNYI merupakan kumpulan 50 puisi dan 10 kolase digital Yab Sarpote tentang pembantaian atau pembunuhan massal 1965 dan tahun-tahun yang mengikutinya berdasarkan teks sejarah, teks antropologi, laporan lembaga kemanusiaan, laporan jurnalistik, kesaksian penyintas, dan pengakuan pelaku.
Dalam puisinya, Yab menggunakan bentuk-bentuk puisi tradisional Jepang, seperti Haiku, Senryu, Tanka, atau Haibun, dan bentuk puisi yang lebih modern, seperti sajak bebas, puisi imajis, puisi konkret, dan puisi mimik. Sementara itu, dalam kolase digitalnya, Yab menggunakan kolase-kolase simbolis.
Sesuai dengan masifnya skala dan tersebarnya peristiwa pembantaian atau pembunuhan massal 1965, latar puisi-puisi dalam antologi ini beragam, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kupang, dan Bali.
Dalam puisinya, Yab menggunakan bentuk-bentuk puisi tradisional Jepang, seperti Haiku, Senryu, Tanka, atau Haibun, dan bentuk puisi yang lebih modern, seperti sajak bebas, puisi imajis, puisi konkret, dan puisi mimik. Sementara itu, dalam kolase digitalnya, Yab menggunakan kolase-kolase simbolis.
Sesuai dengan masifnya skala dan tersebarnya peristiwa pembantaian atau pembunuhan massal 1965, latar puisi-puisi dalam antologi ini beragam, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kupang, dan Bali.
pembacaan puisi "melukis jenderal soeharto"
Sesuai dengan hasil laporan Komnas HAM, Peristiwa 1965-1966 merupakan tragedi yang bukan hanya menjadi catatan kelam sejarah di Indonesia tapi juga peradaban dunia. Menyusul penculikan dan pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dini hari, hingga setidaknya pertengahan 1966, berlangsung serangkaian kejahatan serius yang menjadi keprihatinan umat manusia (menghancurkan norma-norma jus cogens yang berlaku secara global) meliputi penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penghilangan paksa mendahului pembunuhan massal lebih dari setengah juta orang (menurut kesepakatan para ahli sejarah sejauh ini) dan disertai penyiksaan, pemerkosaan, pengasingan, serta penahanan ke berbagai lokasi kerja paksa.
Baca laporan Komnas HAM selengkapnya di sini.
Hingga tahun 2022, 57 tahun sejak Tragedi Kemanusiaan ini terjadi, sudah banyak penelitian sejarah, penelitian antropologi, kesaksian korban, penyintas, saksi, bahkan pelaku, penggalian situs-situs yang diyakini merupakan kuburan massal korban pembantaian 65/66 yang menunjukkan betapa keji dan mengerikannya peristiwa tersebut.
Sebagai contoh, dokumentasi dan laporan penggalian dan penemuan ratusan kuburan korban pembunuhan massal 1965 yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dapat dipelajari dengan lebih terperinci di sini. Selain itu, kumpulan data penelitian sejarah, antropologi, atau kesaksian korban, penyintas, saksi, bahkan pelaku dapat dipelajari lebih lanjut di sini.
Kendati demikian, hingga kini, pemerintah Indonesia belum juga melakukan langkah-langkah resmi untuk menyingkap kebenaran, mengadili para pelaku atau penanggung jawab peristiwa tersebut, dan melakukan rehabilitasi, restitusi dan kompensasi terhadap korban dan penyintas pelanggaran HAM berat ini.
Para korban dan penyintas tragedi kemanusiaan ini sudah banyak yang berusia lanjut, sakit-sakitan, rentan, dan meninggal dunia, seperti yang dilaporkan dalam tulisan ini. Dari mereka yang masih bertahan hidup ini pun tidak sedikit yang kesulitan untuk mengakses dukungan layanan kesehatan medis dan sosial, seperti yang diceritakan oleh perkumpulan penyintas dalam laporan ini.
Baca laporan Komnas HAM selengkapnya di sini.
Hingga tahun 2022, 57 tahun sejak Tragedi Kemanusiaan ini terjadi, sudah banyak penelitian sejarah, penelitian antropologi, kesaksian korban, penyintas, saksi, bahkan pelaku, penggalian situs-situs yang diyakini merupakan kuburan massal korban pembantaian 65/66 yang menunjukkan betapa keji dan mengerikannya peristiwa tersebut.
Sebagai contoh, dokumentasi dan laporan penggalian dan penemuan ratusan kuburan korban pembunuhan massal 1965 yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dapat dipelajari dengan lebih terperinci di sini. Selain itu, kumpulan data penelitian sejarah, antropologi, atau kesaksian korban, penyintas, saksi, bahkan pelaku dapat dipelajari lebih lanjut di sini.
Kendati demikian, hingga kini, pemerintah Indonesia belum juga melakukan langkah-langkah resmi untuk menyingkap kebenaran, mengadili para pelaku atau penanggung jawab peristiwa tersebut, dan melakukan rehabilitasi, restitusi dan kompensasi terhadap korban dan penyintas pelanggaran HAM berat ini.
Para korban dan penyintas tragedi kemanusiaan ini sudah banyak yang berusia lanjut, sakit-sakitan, rentan, dan meninggal dunia, seperti yang dilaporkan dalam tulisan ini. Dari mereka yang masih bertahan hidup ini pun tidak sedikit yang kesulitan untuk mengakses dukungan layanan kesehatan medis dan sosial, seperti yang diceritakan oleh perkumpulan penyintas dalam laporan ini.
beli buku ini
kata pembaca tentang anatomi sunyi
|
|