Tulisan ini adalah catatan-catatan tentang pengalaman kami dalam pernikahan beda agama. Tiap hal yang kami anggap menarik akan kami tuliskan, kapan pun kami sempat, mungkin sampai kami mati.
Saya merupakan seorang laki-laki Katolik dan istri saya Muslim. Kami berdua tinggal di Indonesia. Di negara ini, seperti di banyak negara lain, seringkali hal berikut jadi persoalan: kami saling mencintai.
Namun, buat kami, agama bukanlah persoalan. Kasih selalu merupakan dasar pertama dan utama sebelum apa pun lainnya. Kasih merupakan rasa atau nilai universal yang dipunyai tidak hanya oleh manusia, tetapi juga sebagian makhluk berakal budi di bumi ini.
Saya menganggap kasih atau cinta punya usia yang lebih purba, bahkan ketimbang agama-agama terorganisasi (organized religion) yang muncul di bumi ini, termasuk agama-agama Adam yang diwariskan kepada kami berdua.
Seekor dinosaurus yang melindungi telur atau anaknya dari serangan predator lain tentu mendasarkan perilaku protektif tersebut pada cintanya kepada keturunannya, selain pada fakta bahwa proteksi adalah manifestasi insting bertahan hidup dan memperbanyak diri suatu spesies—insting asali makhluk hidup.
Kita tahu, dinosaurus hidup antara 66-245 juta tahun yang lalu, Abraham ben Terah lahir sekitar 4172 tahun lalu (2150 BCE), sementara Adam dan Hawa diperkirakan lahir antara 120.000 hingga 156.000 tahun lalu, atau lahir saat Kitab Kejadian dituturkan lalu dituliskan?
Pada akhirnya, kami tiba pada sebuah pertanyaan: apakah kami ingin melihat perbedaan kami sebagai sebuah aib atau keindahan? Sebagai sebuah keseragaman atau keberagaman?
Namun, bagaimanapun kami mencari-cari jalan buntu atas pertanyaan itu, persoalan atas jawaban pertanyaan itu, argumentasi, ketakutan, ancaman, potensi konflik, dan pemisah yang mungkin muncul dari perbedaan kami tersebut, kami tetap tiba di sebuah dermaga yang sama. Demikianlah kami memutuskan untuk mengarungi lautan dengan kapal yang kami punya, tempat agama tidak dipaksakan kepada satu sama lain.
Butuh waktu untuk menyampaikan niat kami ini kepada orang tua kami. Butuh waktu untuk membuat orang tua kami memahami cara kami berpikir dan nilai-nilai yang ingin kami bawa ke dalam kehidupan pernikahan kami. Butuh waktu pula untuk membuat orang tua kami menyadari ada kebenaran-kebenaran lain di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan menghapus dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda.
Dengan tekad dan kesabaran yang kami punya, akhirnya orang tua kami merestui pernikahan kami dengan dua cara, yaitu cara Islam dan cara Katolik, untuk menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yang ditiadakan, dan tidak ada keyakinan yang dipaksakan. Ini juga tanda bahwa setiap pilihan identitas dihargai dan dilindungi. Lebih lanjut, pernikahan kami turut disahkan oleh negara dalam sebuah Akta Pernikahan tanpa ada hambatan apa pun yang berarti.
(Soal landasan teologis tiap agama, teknis dan prosedur pernikahan dalam institusi keagamaan dan institusi negara, saya tidak akan membahasnya saat ini. Mungkin akan ada bagian khusus untuk menceritakan bagian tersebut kelak).
***
Seperti cara kami memandang suku, ras, latar belakang, etnis, dan label sosial lain dalam cara manusia mengkategorikan dirinya, agama bukanlah hal yang seharusnya mencerai-beraikan manusia, melainkan menyelaraskan dan menjadi salah satu obat atas berlarut-larutnya perpecahan spesies homo sapiens akibat berbagai konflik horizontal.
Setiap agama tentu saja memiliki kecenderungan untuk melestarikan dan memperbesar kekuatan dirinya sendiri, misalnya lewat penyebaran agama lewat berbagai cara, pewarisan agama orang tua kepada anak, dan larangan pernikahan beda agama. Kami berdua termasuk generasi yang merupakan pewaris agama orang tua-orang tua kami. Agama diturunkan secara otomatis, bukan direnungkan atau dipelajari terlebih dahulu lalu dipilih (atau tidak dipilih semuanya).
Hal ini tentu sangat lazim dan masuk akal dilakukan bagi sebuah sistem kebenaran absolut dan tunggal seperti agama yang tentu punya seperangkat doktrin. Jika hanya dirinyalah jalan kebenaran, semua yang lain otomatis salah. Pada saat bersamaan, setiap agama mengklaim dirinyalah satu-satunya yang paling benar. Hal serupa sebetulnya berlaku bagi sistem kebenaran absolut dan tunggal lainnya, misalnya sebagian besar sistem identifikasi kewarganegaraan atau keanggotaan partai politik. Bisa bayangkan Megawati jadi ketua PDI-P sekaligus PPP? Kami sih bisa-bisa saja, tetapi sepertinya anggota fanatik masing-masing kubu partai politik tidak.
Kami adalah jenis manusia yang melihat diri kami sebagai anak kecil yang belum mengamini doktrin agama atau pun label-label segregasi sosial hingga habis. Anak kecil yang seperti ini menilai dan memperlakukan manusia lain dari cara manusia tersebut berperilaku, manusia sebagai manusia, tanpa label-label horizontal yang dilekatkan oleh sistem sosial kepadanya.
Keponakan saya, misalnya, jauh lebih bucin dan dekat dengan istri saya daripada saya karena memang istri saya begitu ramah dan dekat dengan anak-anak kecil. Istri saya senang sekali menggunakan waktu istirahatnya selepas kerja untuk bermain dengan keponakan saya selama berjam-jam. Istri saya jauh lebih penuh kasih kepada anak kecil, ketimbang saya. Sementara itu, saya sendiri cenderung lebih dingin dan rasional kepada anak kecil. Kalau suasana hati saya sedang pas atau waktu saya sedang luang, saya mungkin menggunakan waktu tersebut untuk menanggapi polah anak-anak yang sulit saya pahami. Kalau saya sedang sibuk atau suasana hati saya sedang tidak pas, ya tidak.
Jadi, sekalipun saya adalah pamannya yang secara sosial beragama Katolik, agama serupa yang diwariskan kepadanya, keponakan saya tidak peduli. Hal yang dia pedulikan adalah bahwa istri saya jauh lebih penuh kasih kepadanya ketimbang saya. Jadi, fakta bahwa saya sering menyebalkan merupakan hal yang menentukan, ketimbang bagaimana cara saya berdoa.
Menurut kami, ini merupakan cara pandang yang asali, jujur, dan apa adanya. Cara pandang inilah yang kami gunakan dalam memandang diri kami satu-sama lain dan menyikapi perbedaan label yang disematkan sistem sosial kepada kami.
Soal surga dan neraka, sebagaimana halnya soal “yang benar” dan “yang salah”, kami hanya bisa mempunyai pandangan. Sementara itu, kalau sudah terkait dengan hal transendental, hal yang tidak bisa diketahui ada atau tidaknya kecuali dengan "percaya", paling jauh ya kami hanya bisa percaya. Everyone is free to believe in anything, anyway. Everyone is free to believe in whatever they want to believe.
Namun, siapa juga yang sudah pernah mati, pergi ke akhirat, lalu kembali hidup lagi dan memberikan kesaksian soal “yang benar” dan “salah”? Siapa yang bisa memastikan bahwa kami akan dibakar dalam kerak neraka paling panas hanya karena kami saling mencintai dan lelah dengan sekat-sekat yang terlanjur berkerak jauh sebelum kami lahir? Paling ya cerita-cerita soal hal tersebut, dan setiap agama lagi-lagi punya klaimnya sendiri soal hidup setelah kematian.
Everyone is gambling, after all. And no breathing human knows what the dice will show when it stops rolling. Kami hanya tipe manusia yang tidak ingin ribut dan bertengkar (atau saling bunuh, sesuai catatan sejarah) di dunia ini gara-gara perjudian spiritual yang akan manusia ketahui jawabannya setelah tidak lagi di dunia ini (itupun kalau memang ada hidup setelah kematian seperti yang dibayangkan agama-agama Adam). Selain itu, tentu saja kami bukanlah tipe manusia yang senang melaknati diri kami sendiri akibat jatuh cinta pada manusia lain yang diwarisi agama berbeda.
Seperti halnya ada sebagian orang yang percaya bahwa cinta kami adalah aib, kami memilih untuk percaya bahwa cinta kami dapat mengatasi segala sesuatu, termasuk label-label sosial yang sudah ada sebelum kami lahir. Kami percaya bahwa cinta akan meluruhkan hati yang marah, membuka mata yang buta karena keseragaman, dan menjadi pengingat bahwa selalu ada kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini. Kalau hal ini bukanlah surga, saya sulit membayangkan surga seperti apa yang ada di kepala orang-orang beragama?
***
Pada suatu waktu, setelah sepasaran manten usai—hari pertama istri saya tinggal di rumah keluarga laki-laki setelah pernikahan, saya berbincang dengan ibu saya sementara istri saya beristirahat di kamar. Ibu saya merupakan semacam pemuka agama Katolik yang diberikan otoritas-otoritas khusus untuk mengajarkan agama Katolik dan melakukan pelayanan di gerejanya. Saat saya akan beranjak meninggalkan perbincangan tersebut, ibu saya berpesan kepada saya:
“Keran di kamar mandi kita itu sudah rusak. Airnya tidak bisa mengalir. Jangan lupa kamu perbaiki, buat istrimu wudu kalau dia akan salat”.
Saya mengangguk, dan tersenyum.
Namun, buat kami, agama bukanlah persoalan. Kasih selalu merupakan dasar pertama dan utama sebelum apa pun lainnya. Kasih merupakan rasa atau nilai universal yang dipunyai tidak hanya oleh manusia, tetapi juga sebagian makhluk berakal budi di bumi ini.
Saya menganggap kasih atau cinta punya usia yang lebih purba, bahkan ketimbang agama-agama terorganisasi (organized religion) yang muncul di bumi ini, termasuk agama-agama Adam yang diwariskan kepada kami berdua.
Seekor dinosaurus yang melindungi telur atau anaknya dari serangan predator lain tentu mendasarkan perilaku protektif tersebut pada cintanya kepada keturunannya, selain pada fakta bahwa proteksi adalah manifestasi insting bertahan hidup dan memperbanyak diri suatu spesies—insting asali makhluk hidup.
Kita tahu, dinosaurus hidup antara 66-245 juta tahun yang lalu, Abraham ben Terah lahir sekitar 4172 tahun lalu (2150 BCE), sementara Adam dan Hawa diperkirakan lahir antara 120.000 hingga 156.000 tahun lalu, atau lahir saat Kitab Kejadian dituturkan lalu dituliskan?
Pada akhirnya, kami tiba pada sebuah pertanyaan: apakah kami ingin melihat perbedaan kami sebagai sebuah aib atau keindahan? Sebagai sebuah keseragaman atau keberagaman?
Namun, bagaimanapun kami mencari-cari jalan buntu atas pertanyaan itu, persoalan atas jawaban pertanyaan itu, argumentasi, ketakutan, ancaman, potensi konflik, dan pemisah yang mungkin muncul dari perbedaan kami tersebut, kami tetap tiba di sebuah dermaga yang sama. Demikianlah kami memutuskan untuk mengarungi lautan dengan kapal yang kami punya, tempat agama tidak dipaksakan kepada satu sama lain.
Butuh waktu untuk menyampaikan niat kami ini kepada orang tua kami. Butuh waktu untuk membuat orang tua kami memahami cara kami berpikir dan nilai-nilai yang ingin kami bawa ke dalam kehidupan pernikahan kami. Butuh waktu pula untuk membuat orang tua kami menyadari ada kebenaran-kebenaran lain di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan menghapus dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda.
Dengan tekad dan kesabaran yang kami punya, akhirnya orang tua kami merestui pernikahan kami dengan dua cara, yaitu cara Islam dan cara Katolik, untuk menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yang ditiadakan, dan tidak ada keyakinan yang dipaksakan. Ini juga tanda bahwa setiap pilihan identitas dihargai dan dilindungi. Lebih lanjut, pernikahan kami turut disahkan oleh negara dalam sebuah Akta Pernikahan tanpa ada hambatan apa pun yang berarti.
(Soal landasan teologis tiap agama, teknis dan prosedur pernikahan dalam institusi keagamaan dan institusi negara, saya tidak akan membahasnya saat ini. Mungkin akan ada bagian khusus untuk menceritakan bagian tersebut kelak).
***
Seperti cara kami memandang suku, ras, latar belakang, etnis, dan label sosial lain dalam cara manusia mengkategorikan dirinya, agama bukanlah hal yang seharusnya mencerai-beraikan manusia, melainkan menyelaraskan dan menjadi salah satu obat atas berlarut-larutnya perpecahan spesies homo sapiens akibat berbagai konflik horizontal.
Setiap agama tentu saja memiliki kecenderungan untuk melestarikan dan memperbesar kekuatan dirinya sendiri, misalnya lewat penyebaran agama lewat berbagai cara, pewarisan agama orang tua kepada anak, dan larangan pernikahan beda agama. Kami berdua termasuk generasi yang merupakan pewaris agama orang tua-orang tua kami. Agama diturunkan secara otomatis, bukan direnungkan atau dipelajari terlebih dahulu lalu dipilih (atau tidak dipilih semuanya).
Hal ini tentu sangat lazim dan masuk akal dilakukan bagi sebuah sistem kebenaran absolut dan tunggal seperti agama yang tentu punya seperangkat doktrin. Jika hanya dirinyalah jalan kebenaran, semua yang lain otomatis salah. Pada saat bersamaan, setiap agama mengklaim dirinyalah satu-satunya yang paling benar. Hal serupa sebetulnya berlaku bagi sistem kebenaran absolut dan tunggal lainnya, misalnya sebagian besar sistem identifikasi kewarganegaraan atau keanggotaan partai politik. Bisa bayangkan Megawati jadi ketua PDI-P sekaligus PPP? Kami sih bisa-bisa saja, tetapi sepertinya anggota fanatik masing-masing kubu partai politik tidak.
Kami adalah jenis manusia yang melihat diri kami sebagai anak kecil yang belum mengamini doktrin agama atau pun label-label segregasi sosial hingga habis. Anak kecil yang seperti ini menilai dan memperlakukan manusia lain dari cara manusia tersebut berperilaku, manusia sebagai manusia, tanpa label-label horizontal yang dilekatkan oleh sistem sosial kepadanya.
Keponakan saya, misalnya, jauh lebih bucin dan dekat dengan istri saya daripada saya karena memang istri saya begitu ramah dan dekat dengan anak-anak kecil. Istri saya senang sekali menggunakan waktu istirahatnya selepas kerja untuk bermain dengan keponakan saya selama berjam-jam. Istri saya jauh lebih penuh kasih kepada anak kecil, ketimbang saya. Sementara itu, saya sendiri cenderung lebih dingin dan rasional kepada anak kecil. Kalau suasana hati saya sedang pas atau waktu saya sedang luang, saya mungkin menggunakan waktu tersebut untuk menanggapi polah anak-anak yang sulit saya pahami. Kalau saya sedang sibuk atau suasana hati saya sedang tidak pas, ya tidak.
Jadi, sekalipun saya adalah pamannya yang secara sosial beragama Katolik, agama serupa yang diwariskan kepadanya, keponakan saya tidak peduli. Hal yang dia pedulikan adalah bahwa istri saya jauh lebih penuh kasih kepadanya ketimbang saya. Jadi, fakta bahwa saya sering menyebalkan merupakan hal yang menentukan, ketimbang bagaimana cara saya berdoa.
Menurut kami, ini merupakan cara pandang yang asali, jujur, dan apa adanya. Cara pandang inilah yang kami gunakan dalam memandang diri kami satu-sama lain dan menyikapi perbedaan label yang disematkan sistem sosial kepada kami.
Soal surga dan neraka, sebagaimana halnya soal “yang benar” dan “yang salah”, kami hanya bisa mempunyai pandangan. Sementara itu, kalau sudah terkait dengan hal transendental, hal yang tidak bisa diketahui ada atau tidaknya kecuali dengan "percaya", paling jauh ya kami hanya bisa percaya. Everyone is free to believe in anything, anyway. Everyone is free to believe in whatever they want to believe.
Namun, siapa juga yang sudah pernah mati, pergi ke akhirat, lalu kembali hidup lagi dan memberikan kesaksian soal “yang benar” dan “salah”? Siapa yang bisa memastikan bahwa kami akan dibakar dalam kerak neraka paling panas hanya karena kami saling mencintai dan lelah dengan sekat-sekat yang terlanjur berkerak jauh sebelum kami lahir? Paling ya cerita-cerita soal hal tersebut, dan setiap agama lagi-lagi punya klaimnya sendiri soal hidup setelah kematian.
Everyone is gambling, after all. And no breathing human knows what the dice will show when it stops rolling. Kami hanya tipe manusia yang tidak ingin ribut dan bertengkar (atau saling bunuh, sesuai catatan sejarah) di dunia ini gara-gara perjudian spiritual yang akan manusia ketahui jawabannya setelah tidak lagi di dunia ini (itupun kalau memang ada hidup setelah kematian seperti yang dibayangkan agama-agama Adam). Selain itu, tentu saja kami bukanlah tipe manusia yang senang melaknati diri kami sendiri akibat jatuh cinta pada manusia lain yang diwarisi agama berbeda.
Seperti halnya ada sebagian orang yang percaya bahwa cinta kami adalah aib, kami memilih untuk percaya bahwa cinta kami dapat mengatasi segala sesuatu, termasuk label-label sosial yang sudah ada sebelum kami lahir. Kami percaya bahwa cinta akan meluruhkan hati yang marah, membuka mata yang buta karena keseragaman, dan menjadi pengingat bahwa selalu ada kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini. Kalau hal ini bukanlah surga, saya sulit membayangkan surga seperti apa yang ada di kepala orang-orang beragama?
***
Pada suatu waktu, setelah sepasaran manten usai—hari pertama istri saya tinggal di rumah keluarga laki-laki setelah pernikahan, saya berbincang dengan ibu saya sementara istri saya beristirahat di kamar. Ibu saya merupakan semacam pemuka agama Katolik yang diberikan otoritas-otoritas khusus untuk mengajarkan agama Katolik dan melakukan pelayanan di gerejanya. Saat saya akan beranjak meninggalkan perbincangan tersebut, ibu saya berpesan kepada saya:
“Keran di kamar mandi kita itu sudah rusak. Airnya tidak bisa mengalir. Jangan lupa kamu perbaiki, buat istrimu wudu kalau dia akan salat”.
Saya mengangguk, dan tersenyum.