Yab Sarpote
  • Home
  • ANATOMI SUNYI
  • Contact & Subscription
  • MEMOAR

lisa dan kacamata kuda di singapura

8/10/2019

0 Comments

 
Picture
Salah seorang penjual lassi di Little India

“Boleh duduk di sini?” tanya seorang laki-laki yang hampir baya. 

“Oh, please,” jawab saya spontan.

Dia lantas duduk di depan saya. Kami berbagi meja. Saya menunggu makan siang pertama di sebuah food court murah-meriah di timur laut Bukit Timah Road, Singapura: nasi briyani dan lassi mangga. Sementara itu, dia mengeluarkan bekal dari dalam kantong plastik kusut: beberapa potong buah, roti dan donat bergula tabur. 

Sesekali saya mencuri pandang. Dia makan perlahan. Matanya menerawang, memandangi jalan raya. Kami seperti dua anak SD yang saling tak kenal pada hari pertama sekolah: sama-sama ragu memulai obrolan. “Dengan bahasa apa saya harus bicara?” pikir saya dalam hati.

“Do you live around here?” tanya saya. Anda tinggal di sekitar sini.

“Ha?” jawabnya bingung. 

Saya mengulangi pertanyaan. 

Dia masih bingung.

“No. Sorry. English not very good,” jawabnya. Maaf, bahasa Inggris saya tidak terlalu baik.

“Oh, sorry,” jawab saya malu. Saya lalu diam karena kikuk. 

“Ada cakap Melayu kah?” lanjut saya, berharap dalam hati semoga dia tak hanya berbahasa Mandarin. 

Read More
0 Comments

Apakah kita akan mati dalam sepi, seperti mesin?

4/23/2018

0 Comments

 
Picture
Buruh-buruh kebersihan di stasiun Maihama yang sudah berusia lanjut.

“Kinō no yoru wa nanji ni nemashita ka?” tanya saya dengan bahasa Jepang yang compang-camping. Semalam kamu tidur jam berapa?

“Watashi wa, gozen 2-ji ni ne” jawabnya. Jam 2 pagi.

“Shinjirarenai! Anata wa motto nemuru baka desu, Keiichi,” timpal saya. Serius? Kamu harus tidur lebih banyak, Keiichi.

Keiichi tersenyum, lalu meminum 2 cangkir sake. Malam ini dia hampir menghabiskan 1 liter sake sendirian. Dia baru tidur jam 2 pagi hari ini, lalu harus bangun jam 6 pagi untuk bekerja.

“Sudah biasa di Tokyo. Buruh kantoran tidur 4-5 jam hampir setiap hari, apalagi kalau ada acara besar seperti ini,” cerita Keiichi.

Saya menggelengkan kepala.

“Pantas saja banyak buruh kantoran Jepang mati saat bekerja ya?” tanya saya.

“Hai. Di meja kantor, di trotoar, di metro, di stasiun. Sore wa kanashī” jawabnya. Ini menyedihkan.

“O kinodoku ni” jawab saya. Saya turut sedih.

Hari itu adalah hari ke-5 saya bekerja di Tokyo. Ada sebuah konferensi industri yang harus saya hadiri selama satu minggu. Majikan saya membayari semua keperluan saya selama di Tokyo. Namun, sebagai gantinya, saya harus bekerja lembur rata-rata 3-4 jam hampir setiap hari untuk mengikuti semua jadwal konferensi.

Saya sendiri baru tidur jam 12 pada malam sebelumnya, dan harus bangun jam 7 pagi hari ini untuk mengejar jadwal metro. Kalau ini saya anggap keterlaluan, entah bagaimana Keiichi yang hampir setiap hari tidur 4-5 jam saja.

Keiichi bukan satu-satunya.
​
Saya tinggal di sebuah penginapan di Chiyoda-ku. Setiap hari saya menempuh 90 menit perjalanan metro menuju tempat konferensi di pinggiran Tokyo. Setiap hari pula saya berpapasan dengan buruh-buruh kantoran yang bergegas di trotoar, di metro, di stasiun, dan di simpang jalan.

​Banyak dari buruh kantoran ini tampak sangat letih. Mereka tertidur di kereta, di lorong-lorong bawah tanah subway, hingga pingsan di stasiun. Ini adalah hal yang tidak sekali dua kali saya saksikan. Tetapi yang sulit saya pahami, di tengah tekanan kerja tersebut, mereka selalu tampak berusaha teguh dan kuat.

Read More
0 Comments

    arsip

    May 2022
    August 2021
    March 2020
    August 2019
    December 2018
    November 2018
    April 2018
    December 2016
    October 2016
    June 2016
    February 2016
    December 2015
    January 2014

    kategori

    All
    Catatan Perjalanan
    Kisah
    Panggung
    Tentang Kawan
    Wacana

    RSS Feed


Powered by Create your own unique website with customizable templates.