Memoar ini adalah kisah yang saya tulis tentang kawan-kawan yang saya kenal dan saya hormati sebagai manusia dan sebagai musisi. Jadi, daftarnya akan terus bertambah selama saya masih hidup. Bagi saya, kawan-kawan berikut ini adalah orang yang luar biasa. Sebuah memoar tentu terlalu sedikit untuk menceritakannya. Namun, buat saya, hidup yang indah sayang kalau tak diceritakan.
WOBAL
Saya mengenal Wobal belum lama. Mungkin 4 tahun. Mungkin lebih. Seperti banyak kawan yang saya kagumi, saya tak pernah ingat tanggal pasti pertemuannya. Namun, saya tak pernah lupa dengan mereka. 4 tahun bukanlah waktu yang lama, tapi saya merasa seperti sudah mengenal dia jauh lebih lama ketimbang guru SMA saya.
Saya bertemu Wobal di sebuah gig ala kadarnya di Jogja—gig berkapasitas 100-200 orang yang tak familiar dengan musik ‘politis’. Dari mulai kejahatan perusahaan sawit di Borneo dan Papua sampai penggusuran yang marak di Jogja dibahas malam itu, tetapi mayoritas tetap tak banyak bergeming. Belakangan saya makin yakin, efek strategi “hajar semua undangan gig” memang campur-aduk: banyak tampil, banyak kecewa. Dari 200 orang, mungkin hanya ¼-nya yang benar-benar menyimak. Nah, Wobal bagian dari ¼ ini.
Mayoritas kawan yang saya kagumi hadir dengan cara yang kurang-lebih sama: rendah hati. Wobal dululah yang menghampiri, menyalami saya, lantas memperkenalkan dirinya dengan kalimat yang tak pernah saya lupa: “saya bukan siapa-siapa.”
Saya mengenal Wobal belum lama. Mungkin 4 tahun. Mungkin lebih. Seperti banyak kawan yang saya kagumi, saya tak pernah ingat tanggal pasti pertemuannya. Namun, saya tak pernah lupa dengan mereka. 4 tahun bukanlah waktu yang lama, tapi saya merasa seperti sudah mengenal dia jauh lebih lama ketimbang guru SMA saya.
Saya bertemu Wobal di sebuah gig ala kadarnya di Jogja—gig berkapasitas 100-200 orang yang tak familiar dengan musik ‘politis’. Dari mulai kejahatan perusahaan sawit di Borneo dan Papua sampai penggusuran yang marak di Jogja dibahas malam itu, tetapi mayoritas tetap tak banyak bergeming. Belakangan saya makin yakin, efek strategi “hajar semua undangan gig” memang campur-aduk: banyak tampil, banyak kecewa. Dari 200 orang, mungkin hanya ¼-nya yang benar-benar menyimak. Nah, Wobal bagian dari ¼ ini.
Mayoritas kawan yang saya kagumi hadir dengan cara yang kurang-lebih sama: rendah hati. Wobal dululah yang menghampiri, menyalami saya, lantas memperkenalkan dirinya dengan kalimat yang tak pernah saya lupa: “saya bukan siapa-siapa.”
Penyangkalan diri macam ini bikin kikuk karena Wobal cukup tak asing dalam skena reggae indie, sependek pengetahuan saya. Saya sedikit tahu dia juga bermusik, mengisi sejumlah diskusi di Jogja tentang sejarah Reggae, tentang rastafarian dan gerakan sosial, dan pernah mengelola nusareggae.
Jadi, kerendahan hati macam itulah yang mungkin mengantarkan kami untuk segera akrab dan menghabiskan malam dengan berbincang di trotoar, di depan kantor Kedaulatan Rakyat. Musisi-musisi jalanan kenalan Wobal sesekali mampir, nimbrung, turut menikmati kopi dan kacang rebus dari PKL sekitar. Kadang musisi-musisi cilik jalanan kenalannya singgah setelah ngamen, bersenda-gurau dengan kami, berbagi nasi kucing, lalu pergi lagi mencari nafkah.
“Kowe turu nangdi mengko? Mbok aku melu! [Kamu tidur di mana nanti? Aku ikut dong!]” teriak Wobal pada kawan ciliknya.
“Mbuh! Sms wae! [Entah! Sms saja!]” balas si musisi cilik sambil lenggang kangkung. Kekehnya masih terdengar sayup saat ia menjauh, menghampiri satu per satu orang yang tengah makan dan berpacaran di emperan.
Malam itu adalah malam yang singkat. Namun, malam sesingkat itu sudah cukup membuat saya menaruh hormat pada Wobal. Dari sekian banyak ceritanya, ada yang tak pernah saya lupa.
Yang pertama adalah soal kritiknya terhadap sebagian besar musik reggae di Indonesia saat ini. Yang kedua adalah soal pengalamannya memunggungi kekuasaan dalam aktivitas musiknya. Yang ketiga adalah cinta dan rindunya pada kampung halamannya, Kerinci, Jambi.
Yang pertama sudah kerap saya dengar. Wobal adalah golongan yang sinis dengan mayoritas wabah reggae saat ini: ‘reggae eksotis inlander apolitis’ yang tak jauh-jauh dari pantai, santai, bule, dan pesta. Tak cukup dengan konten musik, kerap kali perhelatan agung reggae pun digelar di situs pariwisata yang kontras dengan kondisi sosial-ekonomi penduduknya: kembang api dan pesta-pora di tengah muramnya wajah penduduk lokal yang kehilangan tanah & harga diri akibat industri pariwisata milik pemodal babon pribumi dan asing.
Saya ingat bagaimana situs-situs pariwisata khususnya di pulau-pulau terpencil pekat dengan apartheid: penduduk-penduduk lokal yang tanahnya sudah terbeli murah atau dirampas kini jadi pelayan di resort-resort megah yang bukan miliknya, jadi babu di kampungnya. Nelayan-nelayan yang lautnya sudah dipatoki kini harus memutar jalur pelayaran untuk menghindari teritori privat pemilik resor. Sementara pemilik resort, tamu-tamu elit dari dalam dan (khususnya) luar negeri berjalan anggun bak anggota kerajaan tengah menginspeksi pulau pribadinya di ujung dunia: DO NOT DISTURB.
“Lalu kau bayangkan, konser reggae berdentum megah di tengah-tengahnya,” kata Wobal.
Baginya, hal macam ini sudah sangat jauh dari semangat reggae awal. Karena reggae lahir dari rahim penindasan dan kemiskinan, sudah sepatutnya ia melahirkan pembebasan. Sudah sepatutnya ia berbicara tentang masalah-masalah sosial tempat ia lahir. Namun, mayoritas reggae yang itu-itu juga tak memberi hal lain padanya, selain kemuakan.
Mungkin kemuakan ini pulalah yang membuatnya tak terlalu ingin terkenal dan hidup mapan dalam belaian kekuasaan. Pada tahun 2011 dia dan kawannya dimintai mantan gubernur Jakarta yang juga mantan petinggi TNI untuk mengadakan festival reggae besar-besaran di ibukota, tentu dengan agenda politik pencitraan yang mudah ditebak: membabtis sang mantan gubernur sebagai ‘Bapak Reggae Indonesia’. Woyoo!
Wobal dan kawannya menolaknya. Ia tak mau ikut menyelenggarakan panggung yang tak punya tujuan lain selain onani kekuasaan. Di tengah-tengah lautan musisi yang haus uang, popularitas, dan koneksi “orang kuat” supaya karier musiknya bisa melambung, mengambil posisi bertentangan dengan kekuasaan hampir sama maknanya dengan bunuh diri. Makna “bunuh diri” di sini malah harafiah juga. Berdasarkan ceritanya, kawannya bahkan diancam akan dihabisi anak buah sang mantan gubernur karena lancang menolak tawarannya.
Memunggungi kekuasaan macam itu butuh keberanian dan ongkos besar. Belum termasuk soal perpecahan komunitas, permusuhan, dan pengucilan. Harusnya dunia jadi lebih mudah kalau dia terima saja gula-gulanya, seperti banyak seniman dan musisi seumurannya yang siap-grak! begitu pengusaha, politisi, dan penguasa mengetuk pintu kos-kosan mereka yang reot. Tawaran pejabat negara, calon presiden, atau CEO perusahaan rokok harusnya masuk daftar tawaran yang harus diterima tanpa perlu mengedipkan mata.
Namun, memunggungi kekuasaan mungkin bukanlah soal keberanian atau idealisme yang muluk-muluk. Mungkin Wobal hanya lebih cinta dan rindu pada kampung halamannya yang sederhana. Setelah berjam-jam penuh kesinisan terhadap kedangkalan reggae dan kekuasaan, dia bangkit dengan wajah cerah saat menceritakan kisah-kisah tentang kampungnya di Sumatera.
Kampung halamannya itu pulalah yang membuat saya belum pernah berjumpa lagi dengan Wobal sejak malam itu. Sebelum berpisah, dia bilang dia rindu bapaknya, rindu panenan kayu manisnya, rindu adik-adiknya, rindu keluarganya. Dia bilang dia sudah terlalu lama hidup di Jawa sehingga ia tak paham cara bertani.
Salah satu yang menjadi pikirannya adalah tak banyak orang yang membantu bapaknya mengurus kayu manis dan kopi di kampung. Selain itu juga, ia ingin jadi petani, menanam kopi di lekuk-lekuk Bukit Barisan—hal yang Bob Marley sendiri tak pernah sempat lakukan hingga ajalnya seberapapun Marley ingin jadi petani di masa tuanya.
Jadi, dia tinggalkan Jogja.
Beberapa tahun berlalu semenjak malam di trotoar Kedaulatan Rakyat itu. Dari kejauhan, saya hanya sempat sesekali membaca dan mengomentari keluh-kesah dan ceritanya di media sosial tentang harga kayu manis yang makin jatuh, tentang pemilu yang membosankan, tentang calon istrinya yang entah ada sungguhan atau tidak, dan tentu saja: tentang kerinduannya meniup terompet dan menyanyi lagi di panggung.
Terakhir saya dengar dia sudah meninggalkan kampungnya untuk tinggal di Bangko, sebuah kota di Jambi. Di Bukit Aur kota tersebut dia mendirikan ‘Café Puncak’ Bangko bercat bendera kebangsaannya: merah, hijau, kuning. Di lapak kebanggaannya itu, ia berjualan bandrek, kopi Aceh dan teh telur kepada orang-orang yang singgah.
Bagi saya Wobal adalah lilin dalam kenangan. Hanya sebentar saya bertemu dengannya, tapi tak habis-habis rasa hormat untuknya. Bagi saya, dia adalah musisi yang paripurna—mereka yang memahami musik sebagai kebahagiaan sederhana saat ia didendangkan, tanpa peduli bayarannya ada atau tidak, penontonnya banyak atau tidak, prospek kariernya bagus atau tidak. Ia adalah musisi yang masih bahagia dengan memanggul alat musiknya sendiri.
Namun, justru musisi macam Wobal lah yang tak mampu dibeli kekuasaan. Kebahagiaan sederhananya terlalu absurd—terlalu gila bagi mimpi ambisius musisi-musisi yang mengidamkan kemapanan hidup dari basa-basi dengan kekuasaan. Kesederhanaannya adalah kenaifan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang melihat bahwa politisi, pejabat negara, dan sponsor korporat bukanlah pengecualian dalam tangga karier musiknya.
Begitu pula sebaliknya. Wobal adalah kesinisan paling menjengkelkan bagi basa-basi dan pelacuran seniman kepada kekuasaan. Hidupnya sendiri adalah sebuah kesinisan tak berkesudahan bagi kekuasaan.
Terakhir kali saya lihat, tawanya adalah tawa yang paling nyaring saat Butet Kertaradjasa kepergok memberi promosi bagi Freeport—perusahaan multinasional yang telah menumpahkan darah orang-orang Papua di tanah mereka sendiri. Ini adalah satu lelucon lagi setelah musisi dan seniman yang riuh dengan kampanye calon presiden yang sekarang sudah tak tercium lagi baunya, musisi lokal yang menjilati Danone-Aqua, dan musisi-musisi rock yang gila dengan proyek Bela Negara.
Beberapa minggu lalu, saya sempat terkekeh membaca status media sosial Wobal yang diketiknya dari Bukit Aur:
“Penjualan malam ini cukup memuaskan. Bandrek habis, teh talua lumayan, kopi Aceh juga sip, dan minuman lainnya juga uye. Makanan ludes semua terjual. Kalok kayak gini terus penjualan abang tiap malam, bisa jadi abang beli saham Freeport nih, dik!”
Saya membayangkan Wobal tertawa bahagia.
Namun, justru musisi macam Wobal lah yang tak mampu dibeli kekuasaan. Kebahagiaan sederhananya terlalu absurd—terlalu gila bagi mimpi ambisius musisi-musisi yang mengidamkan kemapanan hidup dari basa-basi dengan kekuasaan. Kesederhanaannya adalah kenaifan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang melihat bahwa politisi, pejabat negara, dan sponsor korporat bukanlah pengecualian dalam tangga karier musiknya.
Begitu pula sebaliknya. Wobal adalah kesinisan paling menjengkelkan bagi basa-basi dan pelacuran seniman kepada kekuasaan. Hidupnya sendiri adalah sebuah kesinisan tak berkesudahan bagi kekuasaan.
Terakhir kali saya lihat, tawanya adalah tawa yang paling nyaring saat Butet Kertaradjasa kepergok memberi promosi bagi Freeport—perusahaan multinasional yang telah menumpahkan darah orang-orang Papua di tanah mereka sendiri. Ini adalah satu lelucon lagi setelah musisi dan seniman yang riuh dengan kampanye calon presiden yang sekarang sudah tak tercium lagi baunya, musisi lokal yang menjilati Danone-Aqua, dan musisi-musisi rock yang gila dengan proyek Bela Negara.
Beberapa minggu lalu, saya sempat terkekeh membaca status media sosial Wobal yang diketiknya dari Bukit Aur:
“Penjualan malam ini cukup memuaskan. Bandrek habis, teh talua lumayan, kopi Aceh juga sip, dan minuman lainnya juga uye. Makanan ludes semua terjual. Kalok kayak gini terus penjualan abang tiap malam, bisa jadi abang beli saham Freeport nih, dik!”
Saya membayangkan Wobal tertawa bahagia.