Terjemahan oleh Yab Sarpote
Kecepatan Taliban merebut kembali Afghanistan menjelang ditariknya kekuatan Amerika Serikat menggambarkan betapa rapuhnya hegemoni imperium AS: seberapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk mempertahankannya dan seberapa cepat segalanya bisa berubah ketika kekuatan tersebut ditarik. Peristiwa ini menawarkan pandangan sekilas soal kemungkinan masa depan setelah imperium AS angkat kaki—walaupun bukan masa depan yang menjanjikan. Bagaimana pendudukan AS berdampak pada rakyat Afghanistan? Mengapa Taliban bisa menduduki kembali begitu banyak wilayah dengan begitu cepat? Apa arti dan konsekuensi penarikan kekuatan AS terhadap masa depan dan bagaimana kita bisa mempersiapkannya?
Perang Melawan Teror (War on Terror), layaknya Perang Dingin dahulu, telah memaksa seluruh penduduk untuk memilih dua kutub yang sama-sama tidak diinginkan. Alhasil, sulit untuk membayangkan alternatif pilihan: imperium kapitalis global atau otoritarianisme yang tumbuh di rumah sendiri. Dalam jangka panjang, apa pun janjinya, militerisme kolonial tidak dapat mengendalikan nasionalisme, fasisme, atau fundamentalisme. Militerisme kolonial malah hanya menumbuhkan alasan otoritarianisme dalam negeri untuk merekrut lebih banyak pendukung. Pertanyaannya adalah bagaimana merawat jaringan akar rumput global yang dapat menciptakan alternatif yang nyata.
Dalam analisis berikut, seorang bekas prajurit pendudukan AS di Afghanistan membahas kekalahan proyek imperium AS ini—membingkai Taliban, pendudukan, dan konsekuensinya dalam konteks gelombang fasisme dan fundamentalisme di seluruh dunia yang juga mulai berkembang di Amerika Serikat.
Perang Melawan Teror (War on Terror), layaknya Perang Dingin dahulu, telah memaksa seluruh penduduk untuk memilih dua kutub yang sama-sama tidak diinginkan. Alhasil, sulit untuk membayangkan alternatif pilihan: imperium kapitalis global atau otoritarianisme yang tumbuh di rumah sendiri. Dalam jangka panjang, apa pun janjinya, militerisme kolonial tidak dapat mengendalikan nasionalisme, fasisme, atau fundamentalisme. Militerisme kolonial malah hanya menumbuhkan alasan otoritarianisme dalam negeri untuk merekrut lebih banyak pendukung. Pertanyaannya adalah bagaimana merawat jaringan akar rumput global yang dapat menciptakan alternatif yang nyata.
Dalam analisis berikut, seorang bekas prajurit pendudukan AS di Afghanistan membahas kekalahan proyek imperium AS ini—membingkai Taliban, pendudukan, dan konsekuensinya dalam konteks gelombang fasisme dan fundamentalisme di seluruh dunia yang juga mulai berkembang di Amerika Serikat.
Kemenangan Taliban dalam Konteks Global
Saat saya menyusun tulisan ini, Taliban telah menguasai Kabul dan seluruh negara Afghanistan. Presiden Ashraf Ghani yang didukung AS telah melarikan diri ke Tajikistan, sementara anggota Angkatan Darat Afghanistan melarikan diri ke negara-negara tetangga atau menyerah kepada gerilyawan Taliban. Beberapa hari yang lalu, pejabat Intelijen AS memperkirakan setidaknya ada waktu 30 hari sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, saat Presiden Biden mengerahkan 5.000 tentara AS untuk melindungi evakuasi kedutaan dan personel AS. Sekarang Departemen Luar Negeri mendesak warga AS yang tersisa untuk berlindung di tempat, tidak lari ke Bandara Kabul untuk evakuasi darurat. Saat asap dari pembakaran dokumen rahasia dan tembakan memenuhi cakrawala Kabul, pikiran kita berkelana ke momen pada masa lampau: jatuhnya Saigon ke Tentara Vietnam Utara dan Front Pembebasan Nasional.
Saya tidak bisa merayakan kemenangan Taliban. Walaupun Taliban memerangi penjajahan kapitalis dan imperialis, mereka mewakili yang terburuk dari fundamentalisme, patriarki, dan hierarki agama. Namun, sangat mengejutkan melihat tirai ditutup dengan begitu tragis. Robohlah mitos eksepsionalisme bahwa militer Amerika sungguh istimewa. Dua puluh tahun sia-sia: uang, masa muda, dan darah.
Saya seorang veteran pendudukan Afghanistan. Semua yang akan saya ceritakan berasal dari pengalaman langsung saya selama melayani imperium AS sebagai prajurit selama sepuluh tahun.
Saya bergabung sebagai prajurit karena semua motivasi yang lazim ada di iklan rekrutmen. Sebagai seorang analis intelijen dan bintara, saya pernah mengatur dan memimpin tim, regu, dan unit tentara. Berdasarkan pengalaman saya dalam pengawasan dan pengintaian udara, saya direkrut untuk bergabung dengan perusahaan kontraktor pertahanan. Perusahaan pertahanan tempat saya bekerja meliputi L3, Boeing, dan Lockheed Martin. Saya melatih unit di AS dan Afghanistan selama lebih dari tiga tahun dan dikerahkan ke Afghanistan tiga kali untuk perusahaan-perusahaan tersebut. Saya juga dikirimkan ke Afghanistan sebagai bagian dari tim operasi untuk unit yang mengelola salah satu pangkalan terbesar di Afghanistan selatan.
Berdasarkan hal yang saya saksikan, operasi kontra-terorisme AS utamanya dilakukan untuk menciptakan pasar bagi teknologi dan produk militer AS dan mengamankan sumber daya untuk imperium AS. Selama 20 tahun, kami menopang penguasa-penguasa perang lokal dan regional, memberi mereka senjata dan uang agar mereka tidak menyerang pasukan kami. Kami memberi kewenangan pasukan-pasukan maut mereka dan menamainya Polisi Lokal Afghanistan (ALP). Selama bekerja di tingkat eselon senior, saya menyaksikan perwira berpangkat dan prajurit junior berebut untuk memenuhi resume mereka supaya bisa jadi tentara bayaran untuk perusahaan dan agensi yang benar-benar mendalangi semua pertunjukan ini. Para jenderal membangun karier dan kemudian dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut atau oleh Departemen Pertahanan/Komunitas Intelijen. Dari Suriah dan Irak ke Yaman dan di seluruh Afrika, di seluruh 800 pangkalan militer kami, tak pernah saya temukan satu misi militer pun yang terutama berfokus untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas.
Sudah terlalu lama saya berpartisipasi dalam semua pertunjukan ini—dan saya ingin bertanggung jawab, meskipun saya tahu tak ada jalan untuk benar-benar menebus kesalahan saya.
Tewasnya salah seorang prajurit saya membuat saya sadar. Setelah itu, saya mulai menderita efek CPTSD [Complex Post-Traumatic Stress Disorder]. Ciri-cirinya klasik: mabuk-mabukan dan mengonsumsi narkoba, putus hubungan, depresi, kecenderungan bunuh diri. Saya juga mulai mencari bantuan pada saat itu. Saya bergabung dengan Iraq Veterans Against the War (Veteran Irak Menolak Perang) dan berkenalan dengan para prajurit aktif dan mantan prajurit yang memerangi imperialisme AS. Dengan informasi dari GI Rights Hotline, saya dapat keluar dari Tentara Cadangan Angkatan Darat. Saya memulai proses politisasi yang di dalamnya saya belajar tentang militerisme, imperialisme, kolonialisme, dan supremasi kulit putih.
Bahwa kini pendudukan telah berakhir, seluruh generasi veteran militer AS akan dibuat bertanya: apa gunanya pendudukan tersebut. Yang bisa saya lakukan adalah bertanya mengapa begitu lama mereka sadar dan baru mempertanyakan hal tersebut sekarang. Padahal realita tersebut selalu ada di sekitar kami.
Saya tidak bisa merayakan kemenangan Taliban. Walaupun Taliban memerangi penjajahan kapitalis dan imperialis, mereka mewakili yang terburuk dari fundamentalisme, patriarki, dan hierarki agama. Namun, sangat mengejutkan melihat tirai ditutup dengan begitu tragis. Robohlah mitos eksepsionalisme bahwa militer Amerika sungguh istimewa. Dua puluh tahun sia-sia: uang, masa muda, dan darah.
Saya seorang veteran pendudukan Afghanistan. Semua yang akan saya ceritakan berasal dari pengalaman langsung saya selama melayani imperium AS sebagai prajurit selama sepuluh tahun.
Saya bergabung sebagai prajurit karena semua motivasi yang lazim ada di iklan rekrutmen. Sebagai seorang analis intelijen dan bintara, saya pernah mengatur dan memimpin tim, regu, dan unit tentara. Berdasarkan pengalaman saya dalam pengawasan dan pengintaian udara, saya direkrut untuk bergabung dengan perusahaan kontraktor pertahanan. Perusahaan pertahanan tempat saya bekerja meliputi L3, Boeing, dan Lockheed Martin. Saya melatih unit di AS dan Afghanistan selama lebih dari tiga tahun dan dikerahkan ke Afghanistan tiga kali untuk perusahaan-perusahaan tersebut. Saya juga dikirimkan ke Afghanistan sebagai bagian dari tim operasi untuk unit yang mengelola salah satu pangkalan terbesar di Afghanistan selatan.
Berdasarkan hal yang saya saksikan, operasi kontra-terorisme AS utamanya dilakukan untuk menciptakan pasar bagi teknologi dan produk militer AS dan mengamankan sumber daya untuk imperium AS. Selama 20 tahun, kami menopang penguasa-penguasa perang lokal dan regional, memberi mereka senjata dan uang agar mereka tidak menyerang pasukan kami. Kami memberi kewenangan pasukan-pasukan maut mereka dan menamainya Polisi Lokal Afghanistan (ALP). Selama bekerja di tingkat eselon senior, saya menyaksikan perwira berpangkat dan prajurit junior berebut untuk memenuhi resume mereka supaya bisa jadi tentara bayaran untuk perusahaan dan agensi yang benar-benar mendalangi semua pertunjukan ini. Para jenderal membangun karier dan kemudian dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut atau oleh Departemen Pertahanan/Komunitas Intelijen. Dari Suriah dan Irak ke Yaman dan di seluruh Afrika, di seluruh 800 pangkalan militer kami, tak pernah saya temukan satu misi militer pun yang terutama berfokus untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas.
Sudah terlalu lama saya berpartisipasi dalam semua pertunjukan ini—dan saya ingin bertanggung jawab, meskipun saya tahu tak ada jalan untuk benar-benar menebus kesalahan saya.
Tewasnya salah seorang prajurit saya membuat saya sadar. Setelah itu, saya mulai menderita efek CPTSD [Complex Post-Traumatic Stress Disorder]. Ciri-cirinya klasik: mabuk-mabukan dan mengonsumsi narkoba, putus hubungan, depresi, kecenderungan bunuh diri. Saya juga mulai mencari bantuan pada saat itu. Saya bergabung dengan Iraq Veterans Against the War (Veteran Irak Menolak Perang) dan berkenalan dengan para prajurit aktif dan mantan prajurit yang memerangi imperialisme AS. Dengan informasi dari GI Rights Hotline, saya dapat keluar dari Tentara Cadangan Angkatan Darat. Saya memulai proses politisasi yang di dalamnya saya belajar tentang militerisme, imperialisme, kolonialisme, dan supremasi kulit putih.
Bahwa kini pendudukan telah berakhir, seluruh generasi veteran militer AS akan dibuat bertanya: apa gunanya pendudukan tersebut. Yang bisa saya lakukan adalah bertanya mengapa begitu lama mereka sadar dan baru mempertanyakan hal tersebut sekarang. Padahal realita tersebut selalu ada di sekitar kami.
Ini adalah para tetua dari distrik Panjwai di provinsi Helmand—distrik tempat pembantaian Kandahar terjadi. Bocah laki-laki di foto ini datang bersama ayahnya untuk mengajukan tuntutan terhadap AS karena menggunakan pertanian mereka untuk membangun pangkalan. Mereka melakukan perjalanan setiap minggu selama berbulan-bulan—mereka kehilangan sumur, kebun, dan mata pencaharian. Pangkalan kami adalah satu-satunya di seluruh Afghanistan selatan yang mengizinkan hal yang kami sebut "klaim asing," permintaan kompensasi atas nyawa, tanah, atau properti yang dihancurkan oleh AS. Bocah tersebut pasti berusia pertengahan remaja sekarang. Setiap pewaris pendudukan AS harus memahami arti bertindak dalam solidaritas nyata dengan orang-orang yang mengalami dampak pendudukan.
Selama saya di Afghanistan, kami tidak pernah menguasai wilayah di luar pangkalan dan pos terdepan kami—dan kami sering menemukan musuh di dalam tembok kami sendiri. Taliban menjalankan kontra-insurgensi yang sukses selama dua puluh tahun. Mereka memelihara pemerintahan bayangan, menarik pajak, menyelesaikan perselisihan sosial, budaya, dan ekonomi, dan melakukan manuver dan merebut wilayah. Mereka selalu menunggu kesempatan tiba.
Mengapa Taliban dapat menanti pendudukan berakhir dan merebut kembali kekuasaan dengan begitu mudah?
Taliban diuntungkan dari struktur suku dan etnis Afghanistan, jaringan kompleks loyalitas dan ikatan sosial, dan budaya yang tidak pernah sepenuhnya dapat dipahami oleh pasukan AS/NATO. Afghanistan, seperti negara-bangsa lain dari bekas Kerajaan Inggris, diciptakan tanpa mempertimbangkan demografi etnis dan agama. Hasilnya adalah populasi yang terdiri dari Pashtus, Tajik, Hazara, Uzbek, Aimak, Turkman, dan Baloch—kelompok dengan berbagai budaya dan praktik. Sebagian kelompok mudah bersekutu dengan NATO, sementara yang lain menentang dengan tegas.
Taliban hampir seluruhnya merupakan Pashtu—kelompok etnis dominan di Afghanistan, yang menempati 40 hingga 50% populasi. Orang-orang Pashtu hidup di kedua sisi perbatasan Afghanistan dengan Pakistan dan di sepanjang bagian selatan negara tersebut. Koneksi sosial dan tradisi mereka melampaui batas-batas kolonial negara tersebut, membuatnya mudah bagi mereka untuk berpindah-pindah tempat yang aman di Pakistan, mengeksploitasi celah dalam kendali militer NATO.
Soal banyak momen yang menggambarkan betapa tidak bergunanya perang tersebut, saya ingat waktu saya di Kandahar Airfield, sebuah pangkalan yang menampung setidaknya 22.000 tentara, kontraktor, dan warga sipil. Di sana, saya mengetahui bahwa Komandan Distrik Bayangan Taliban adalah saudara ipar jenderal Angkatan Udara Afghanistan yang sedang menjabat. Mengingat pentingnya hubungan suku dan keluarga dalam budaya Pashtu, jelas bahwa kesetiaan sang jenderal kepada pemerintah yang didukung NATO tidak akan pernah lebih penting ketimbang hubungan suku dan keluarga tersebut. Hubungan antara kedua panglima perang tersebut, bahkan jika mereka secara resmi dianggap sebagai kombatan musuh, memastikan bahwa mereka berdua tidak akan berperang satu sama lain. Saya mengalami interkoneksi semacam ini dengan pihak yang harusnya jadi musuh, mulai dari interaksi saya dengan warga biasa hingga Presiden Afghanistan Hamid Karzai yang saat itu menjabat.
Taliban juga memenuhi kebutuhan masyarakat. Legitimasi Taliban berakar pada kemampuan mereka untuk memberikan perlindungan dan bimbingan agama. Hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun sebelum invasi AS. Para ulama Taliban menyelesaikan perselisihan sosial, budaya, dan ekonomi di wilayah yang mereka kuasai. Mereka menarik pajak dan mengontrol pertanian selama perang. Mereka juga melakukan aksi kekerasan ekstrem yang membuat mereka dapat mengontrol wilayah yang tidak mereka kuasai sebelum perang.
Pendudukan AS gagal meredakan perlawanan Taliban selama dua puluh tahun karena mayoritas penduduk tidak pernah menganggap pasukan yang menduduki negara mereka adalah kekuatan yang sah. Bom dan peluru saja tidak mampu memenangkan hati penduduk. Sebaliknya, pemerintah dan militer yang didukung AS benar-benar mementingkan diri sendiri dan korup. Karena didorong terutama oleh keuntungan pribadi, pasukan NATO bertempur demi metrik saja — mereka lebih peduli jumlah proyek, korban jiwa, uang yang dihabiskan atau uang yang dihemat. Dengan menghabiskan waktu di negara tersebut dengan rotasi tugas jangka pendek, mereka tidak pernah mampu membangun kepercayaan atau rasa hormat dari penduduk negeri tersebut. Unit-unit dan orang-orang baru terus muncul tanpa tahu di mana mereka berada atau apa yang telah dilakukan sebelumnya. Kurangnya rasa hormat dari penduduk ini sangat penting bagi insurgensi yang terjadi sehingga selama pengerahan pasukan tahun 2012, serangan orang dalam (serangan oleh Pasukan Pemerintah Afghanistan terhadap Pasukan NATO) mewakili lebih dari 14% dari total korban jiwa.
Pada akhirnya, Taliban mampu mengambil kendali karena mereka mengerti bahwa hal yang penting untuk memenangkan perjuangan melawan pendudukan kolonial adalah bahwa mereka harus bertahan dalam perang panjang yang melelahkan. Selama dua puluh tahun, dengan menunjukkan ketidakefektifan pemerintahan korup yang didukung NATO, mereka mempertahankan sistem kontrol normatif dan hierarkis yang telah mereka buat sebelum invasi AS.
Namun, fundamentalisme Taliban bukanlah hal penting bagi keberhasilan mereka. Imperium AS runtuh dari dalam: penarikan kekuatan AS dari Afghanistan adalah bagian dari proses yang lebih besar tempat pengaruh geopolitik AS terkikis di seluruh dunia. Negara Tiongkok dapat memperoleh kekuasaan di wilayah tersebut; kita mungkin melihat meningkatnya perebutan kekuasaan antara India dan Pakistan. Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi selanjutnya—di Afghanistan dan di seluruh dunia.
Mengapa Taliban dapat menanti pendudukan berakhir dan merebut kembali kekuasaan dengan begitu mudah?
Taliban diuntungkan dari struktur suku dan etnis Afghanistan, jaringan kompleks loyalitas dan ikatan sosial, dan budaya yang tidak pernah sepenuhnya dapat dipahami oleh pasukan AS/NATO. Afghanistan, seperti negara-bangsa lain dari bekas Kerajaan Inggris, diciptakan tanpa mempertimbangkan demografi etnis dan agama. Hasilnya adalah populasi yang terdiri dari Pashtus, Tajik, Hazara, Uzbek, Aimak, Turkman, dan Baloch—kelompok dengan berbagai budaya dan praktik. Sebagian kelompok mudah bersekutu dengan NATO, sementara yang lain menentang dengan tegas.
Taliban hampir seluruhnya merupakan Pashtu—kelompok etnis dominan di Afghanistan, yang menempati 40 hingga 50% populasi. Orang-orang Pashtu hidup di kedua sisi perbatasan Afghanistan dengan Pakistan dan di sepanjang bagian selatan negara tersebut. Koneksi sosial dan tradisi mereka melampaui batas-batas kolonial negara tersebut, membuatnya mudah bagi mereka untuk berpindah-pindah tempat yang aman di Pakistan, mengeksploitasi celah dalam kendali militer NATO.
Soal banyak momen yang menggambarkan betapa tidak bergunanya perang tersebut, saya ingat waktu saya di Kandahar Airfield, sebuah pangkalan yang menampung setidaknya 22.000 tentara, kontraktor, dan warga sipil. Di sana, saya mengetahui bahwa Komandan Distrik Bayangan Taliban adalah saudara ipar jenderal Angkatan Udara Afghanistan yang sedang menjabat. Mengingat pentingnya hubungan suku dan keluarga dalam budaya Pashtu, jelas bahwa kesetiaan sang jenderal kepada pemerintah yang didukung NATO tidak akan pernah lebih penting ketimbang hubungan suku dan keluarga tersebut. Hubungan antara kedua panglima perang tersebut, bahkan jika mereka secara resmi dianggap sebagai kombatan musuh, memastikan bahwa mereka berdua tidak akan berperang satu sama lain. Saya mengalami interkoneksi semacam ini dengan pihak yang harusnya jadi musuh, mulai dari interaksi saya dengan warga biasa hingga Presiden Afghanistan Hamid Karzai yang saat itu menjabat.
Taliban juga memenuhi kebutuhan masyarakat. Legitimasi Taliban berakar pada kemampuan mereka untuk memberikan perlindungan dan bimbingan agama. Hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun sebelum invasi AS. Para ulama Taliban menyelesaikan perselisihan sosial, budaya, dan ekonomi di wilayah yang mereka kuasai. Mereka menarik pajak dan mengontrol pertanian selama perang. Mereka juga melakukan aksi kekerasan ekstrem yang membuat mereka dapat mengontrol wilayah yang tidak mereka kuasai sebelum perang.
Pendudukan AS gagal meredakan perlawanan Taliban selama dua puluh tahun karena mayoritas penduduk tidak pernah menganggap pasukan yang menduduki negara mereka adalah kekuatan yang sah. Bom dan peluru saja tidak mampu memenangkan hati penduduk. Sebaliknya, pemerintah dan militer yang didukung AS benar-benar mementingkan diri sendiri dan korup. Karena didorong terutama oleh keuntungan pribadi, pasukan NATO bertempur demi metrik saja — mereka lebih peduli jumlah proyek, korban jiwa, uang yang dihabiskan atau uang yang dihemat. Dengan menghabiskan waktu di negara tersebut dengan rotasi tugas jangka pendek, mereka tidak pernah mampu membangun kepercayaan atau rasa hormat dari penduduk negeri tersebut. Unit-unit dan orang-orang baru terus muncul tanpa tahu di mana mereka berada atau apa yang telah dilakukan sebelumnya. Kurangnya rasa hormat dari penduduk ini sangat penting bagi insurgensi yang terjadi sehingga selama pengerahan pasukan tahun 2012, serangan orang dalam (serangan oleh Pasukan Pemerintah Afghanistan terhadap Pasukan NATO) mewakili lebih dari 14% dari total korban jiwa.
Pada akhirnya, Taliban mampu mengambil kendali karena mereka mengerti bahwa hal yang penting untuk memenangkan perjuangan melawan pendudukan kolonial adalah bahwa mereka harus bertahan dalam perang panjang yang melelahkan. Selama dua puluh tahun, dengan menunjukkan ketidakefektifan pemerintahan korup yang didukung NATO, mereka mempertahankan sistem kontrol normatif dan hierarkis yang telah mereka buat sebelum invasi AS.
Namun, fundamentalisme Taliban bukanlah hal penting bagi keberhasilan mereka. Imperium AS runtuh dari dalam: penarikan kekuatan AS dari Afghanistan adalah bagian dari proses yang lebih besar tempat pengaruh geopolitik AS terkikis di seluruh dunia. Negara Tiongkok dapat memperoleh kekuasaan di wilayah tersebut; kita mungkin melihat meningkatnya perebutan kekuasaan antara India dan Pakistan. Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi selanjutnya—di Afghanistan dan di seluruh dunia.
Saat ini dalam sejarah, di jantung imperium AS, saya melihat peningkatan gerakan konservatif yang membawa banyak ide dan kebijakan yang mencerminkan fundamentalisme, patriarki, dan hierarki yang sama yang menjadi ciri Taliban. Pandangan sayap kanan tentang tubuh perempuan, komunitas LGBTQIA+, migran, dan siapa pun yang dianggap orang luar sejalan dengan pandangan dunia penuh kekerasan yang dibenarkan oleh ajaran agama Taliban.
Di AS, kelompok sayap kanan otoriter menyebarkan mitos rasa malu di kalangan laki-laki Amerika—mitologi tentang tersingkirkannya ras kulit putih oleh ras berwarna, feminisasi, kekalahan, hilangnya kontrol dan kekuasaan. Kelompok ini telah mengembangkan mitologi ini selama bertahun-tahun, dan kekalahan di Afghanistan hanya akan menyiram bensin ke kobaran api. Kekerasan dan kebencian yang telah kita lihat di jalan-jalan selama bertahun-tahun mobilisasi fasis adalah konsekuensi langsung dari sebuah bangsa yang mengelu-elukan kebohongan soal kekalahan perang. “Patriots” dan Proud Boys yang mengenakan emblem Pasukan Maut Sayap Kanan tidak jauh berbeda dari pasukan maut fundamentalisme Taliban.
Kaum liberal pun jatuh ke dalam mesin perang imperial yang sama ini. Apa pun gagasan mereka tentang militerisme dan polisi, mereka berbaris berdampingan dengan fasis kanan—dan terlepas dari progresivisme mereka, mereka tidak melakukan apa pun untuk mewujudkan keamanan yang nyata bagi masyarakat kita. Menarik bahwa dua presiden dari Republikan dan dua presiden dari Demokrat mengepalai perang ini. Satu demi satu pemerintahan-pemerintahan ini telah memperluas kekuasaan eksekutif, sementara anggaran pertahanan dan keamanan kita selama dua dekade terakhir telah membuat masyarakat kita sengsara.
AS telah menghabiskan triliunan dolar untuk senjata. Banyak dari senjata ini akhirnya sampai di tangan Taliban dan ISIS; senjata yang lain telah dibawa pulang dan digunakan untuk menindas masyarakat di Amerika Utara, terutama menindas orang kulit hitam. coklat, dan penduduk pribumi. Kaum proletar yang membakar kantor polisi dan bertempur di jalanan dalam pemberontakan baru-baru ini mendapati diri mereka tengah melawan kekuatan, strategi, taktik, dan pola pikir yang sama yang dikembangkan untuk polisi Afghanistan.
Untuk seluruh satu generasi saat ini, Perang Global Melawan Terorisme yang dimulai di Afghanistan telah dieksploitasi dan dikomodifikasi. Orang-orang yang bahkan tidak pernah berpartisipasi dalam konflik tersebut telah membeli game-game live action role playing untuk melampiaskan mimpi dan budaya perang mereka. Seluruh sektor populasi telah menginternalkan kultus yang berbahaya dari patriotisme dan nasionalisme: tewasnya laki-laki. Sekarang, setelah tirai ditutup, saya menyaksikan hancur-leburnya identitas generasi ini yang dibangun dalam suasana dan partisipasi mereka dalam perang. Kaum liberal dan kaum konservatif pasti akan saling menyalahkan. Sementara itu, proses polarisasi politik meningkat dan kedua belah pihak menyerahkan masa depan mereka kepada label-label otoritarianisme yang beraneka ragam dengan harapan mempertahankan ilusi stabilitas.
Satu-satunya yang dapat kita lihat dari kemenangan Taliban adalah bahwa imperium Amerika adalah setumpuk kartu yang menunggu untuk jatuh berantakan. Imperium ini mampu melakukan kekerasan ekstrem, membunuh dengan teknologi tercanggih yang belum pernah disaksikan manusia. Ia mampu melakukan kekejaman yang ekstrem. Akan tetapi, bagaimanapun juga imperium ini adalah istana pasir, yang tidak mampu menaklukkan hati dan pikiran orang, terlepas dari intensitas intervensi atau lamanya pendudukan.
Turtle Island telah mengobarkan lebih dari 500 tahun perlawanan terhadap pendudukan, dan terlepas dari berapa tahun lagi perlawanan tersebut akan terus berkobar, harus jelas bahwa rakyat juga akan menang. Dampak dari Afghanistan tidak hanya akan menjadi kekalahan rezim boneka yang korup dan tidak diinginkan—tetapi juga akan bergema di banyak wilayah imperium yang runtuh ini selama bertahun-tahun ke depan.
Seluruh generasi orang-orang yang dididik dan terlatih dalam perang akhirnya memetik pelajaran dengan susah payah: partisipasi kita dalam pemerintahan imperialis berdiri di atas kekeliruan. Kami telah mulai menginvestasikan kembali pengetahuan dan pengalaman kami ke dalam komunitas yang berfokus pada pembebasan yang sebenarnya.
Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Jika kemenangan Taliban di Afghanistan merupakan indikasi, hal yang menggantikan imperium AS mungkin adalah fundamentalisme atau nasionalisme yang menindas. Kita harus bertanya: bagaimana kita bisa melawan tatanan yang berkuasa sedemikian rupa sehingga tidak akan digantikan oleh kekuasaan lain yang setara dengan Taliban.
Musuh-musuh masyarakat kita dan musuh masa depan yang kita inginkan juga telah membawa para veteran pendudukan yang tidak puas dan kecewa ke dalam pelukan mereka. Kemarahan mereka, yang berakar pada rasa malu yang disebutkan di atas, diwujudkan dalam kekerasan ketimbang solidaritas. Mereka telah mencoba kudeta demi visi otoriter mereka. Peristiwa di Afghanistan akan memotivasi mereka lebih jauh. Bisa jadi kita akan menyaksikan mantan tentara, operator pasukan khusus, dan tentara bayaran memobilisasi diri untuk melawan pihak yang mereka anggap musuh dan melakukan tindakan terorisme individual. Itulah yang perlu kita lawan.
Di AS, kelompok sayap kanan otoriter menyebarkan mitos rasa malu di kalangan laki-laki Amerika—mitologi tentang tersingkirkannya ras kulit putih oleh ras berwarna, feminisasi, kekalahan, hilangnya kontrol dan kekuasaan. Kelompok ini telah mengembangkan mitologi ini selama bertahun-tahun, dan kekalahan di Afghanistan hanya akan menyiram bensin ke kobaran api. Kekerasan dan kebencian yang telah kita lihat di jalan-jalan selama bertahun-tahun mobilisasi fasis adalah konsekuensi langsung dari sebuah bangsa yang mengelu-elukan kebohongan soal kekalahan perang. “Patriots” dan Proud Boys yang mengenakan emblem Pasukan Maut Sayap Kanan tidak jauh berbeda dari pasukan maut fundamentalisme Taliban.
Kaum liberal pun jatuh ke dalam mesin perang imperial yang sama ini. Apa pun gagasan mereka tentang militerisme dan polisi, mereka berbaris berdampingan dengan fasis kanan—dan terlepas dari progresivisme mereka, mereka tidak melakukan apa pun untuk mewujudkan keamanan yang nyata bagi masyarakat kita. Menarik bahwa dua presiden dari Republikan dan dua presiden dari Demokrat mengepalai perang ini. Satu demi satu pemerintahan-pemerintahan ini telah memperluas kekuasaan eksekutif, sementara anggaran pertahanan dan keamanan kita selama dua dekade terakhir telah membuat masyarakat kita sengsara.
AS telah menghabiskan triliunan dolar untuk senjata. Banyak dari senjata ini akhirnya sampai di tangan Taliban dan ISIS; senjata yang lain telah dibawa pulang dan digunakan untuk menindas masyarakat di Amerika Utara, terutama menindas orang kulit hitam. coklat, dan penduduk pribumi. Kaum proletar yang membakar kantor polisi dan bertempur di jalanan dalam pemberontakan baru-baru ini mendapati diri mereka tengah melawan kekuatan, strategi, taktik, dan pola pikir yang sama yang dikembangkan untuk polisi Afghanistan.
Untuk seluruh satu generasi saat ini, Perang Global Melawan Terorisme yang dimulai di Afghanistan telah dieksploitasi dan dikomodifikasi. Orang-orang yang bahkan tidak pernah berpartisipasi dalam konflik tersebut telah membeli game-game live action role playing untuk melampiaskan mimpi dan budaya perang mereka. Seluruh sektor populasi telah menginternalkan kultus yang berbahaya dari patriotisme dan nasionalisme: tewasnya laki-laki. Sekarang, setelah tirai ditutup, saya menyaksikan hancur-leburnya identitas generasi ini yang dibangun dalam suasana dan partisipasi mereka dalam perang. Kaum liberal dan kaum konservatif pasti akan saling menyalahkan. Sementara itu, proses polarisasi politik meningkat dan kedua belah pihak menyerahkan masa depan mereka kepada label-label otoritarianisme yang beraneka ragam dengan harapan mempertahankan ilusi stabilitas.
Satu-satunya yang dapat kita lihat dari kemenangan Taliban adalah bahwa imperium Amerika adalah setumpuk kartu yang menunggu untuk jatuh berantakan. Imperium ini mampu melakukan kekerasan ekstrem, membunuh dengan teknologi tercanggih yang belum pernah disaksikan manusia. Ia mampu melakukan kekejaman yang ekstrem. Akan tetapi, bagaimanapun juga imperium ini adalah istana pasir, yang tidak mampu menaklukkan hati dan pikiran orang, terlepas dari intensitas intervensi atau lamanya pendudukan.
Turtle Island telah mengobarkan lebih dari 500 tahun perlawanan terhadap pendudukan, dan terlepas dari berapa tahun lagi perlawanan tersebut akan terus berkobar, harus jelas bahwa rakyat juga akan menang. Dampak dari Afghanistan tidak hanya akan menjadi kekalahan rezim boneka yang korup dan tidak diinginkan—tetapi juga akan bergema di banyak wilayah imperium yang runtuh ini selama bertahun-tahun ke depan.
Seluruh generasi orang-orang yang dididik dan terlatih dalam perang akhirnya memetik pelajaran dengan susah payah: partisipasi kita dalam pemerintahan imperialis berdiri di atas kekeliruan. Kami telah mulai menginvestasikan kembali pengetahuan dan pengalaman kami ke dalam komunitas yang berfokus pada pembebasan yang sebenarnya.
Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Jika kemenangan Taliban di Afghanistan merupakan indikasi, hal yang menggantikan imperium AS mungkin adalah fundamentalisme atau nasionalisme yang menindas. Kita harus bertanya: bagaimana kita bisa melawan tatanan yang berkuasa sedemikian rupa sehingga tidak akan digantikan oleh kekuasaan lain yang setara dengan Taliban.
Musuh-musuh masyarakat kita dan musuh masa depan yang kita inginkan juga telah membawa para veteran pendudukan yang tidak puas dan kecewa ke dalam pelukan mereka. Kemarahan mereka, yang berakar pada rasa malu yang disebutkan di atas, diwujudkan dalam kekerasan ketimbang solidaritas. Mereka telah mencoba kudeta demi visi otoriter mereka. Peristiwa di Afghanistan akan memotivasi mereka lebih jauh. Bisa jadi kita akan menyaksikan mantan tentara, operator pasukan khusus, dan tentara bayaran memobilisasi diri untuk melawan pihak yang mereka anggap musuh dan melakukan tindakan terorisme individual. Itulah yang perlu kita lawan.
Taliban hanyalah manifestasi lokal atas gelombang otoritarianisme di seluruh dunia.
Perubahan iklim, polarisasi politik, krisis ekonomi, runtuhnya imperium Amerika, dan gejolak sosial yang membara, semuanya hadir di hadapan kita bukan sebagai fenomena perseorangan, tetapi sebagai tantangan tunggal yang terdiri dari bencana yang saling berhubungan. Kita dapat mengambil inspirasi dari kekalahan musuh kita di pemerintahan AS dan belajar dari keberhasilan pihak-pihak yang melawan mereka di mana pun sambil mempertahankan oposisi permanen terhadap segala bentuk penindasan. Hati saya ada pada orang-orang Afghanistan yang saat ini menderita trauma perang selama beberapa generasi. Rakyat Afghanistan adalah rakyat yang memiliki warisan negeri dan penduduk beragam yang telah berulang kali mengalahkan imperium paling kuat dalam sejarah dunia. Saya berharap mereka menemukan kekuatan untuk terus berjalan ke depan dan, pada akhirnya, untuk mencapai pembebasan sejati, keamanan sejati. Saya berharap bahwa kita di sini di AS memahami diri kita sendiri sebagai bagian dari gerakan internasional, menemukan kekuatan untuk melakukan apa pun yang diperlukan di jantung imperium jahat ini untuk membangun dunia baru di atas reruntuhan yang lama.
Sekarang waktunya untuk mendengarkan rakyat Afghanistan, untuk membantu para pengungsi, untuk mendukung organisasi bantuan, dan untuk menentang mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang berlangsung selama dua puluh tahun terakhir ini—untuk membuka hati kita terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan potensi kawan seperjuangan yang baru—untuk mengembangkan keterampilan dan pola pikir yang akan membuat kita tetap aman saat kita melangkah maju ke tempat yang tidak diketahui.
Jika Anda atau anggota keluarga Anda saat ini bertugas di militer AS, silakan hubungi GI Rights Hotline di 1-877-447-4487 atau langsung saja AWOL. Berhentilah melayani front penuh kekerasan yang menguntungkan perusahaan senjata dan pertahanan. Buat apa mati demi kepentingan mereka, dan buat apa membawa derita buat orang-orang malang di dunia seperti yang telah kita lakukan selama dua dekade terakhir kepada orang-orang Afghanistan.
Sekarang waktunya untuk mendengarkan rakyat Afghanistan, untuk membantu para pengungsi, untuk mendukung organisasi bantuan, dan untuk menentang mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang berlangsung selama dua puluh tahun terakhir ini—untuk membuka hati kita terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan potensi kawan seperjuangan yang baru—untuk mengembangkan keterampilan dan pola pikir yang akan membuat kita tetap aman saat kita melangkah maju ke tempat yang tidak diketahui.
Jika Anda atau anggota keluarga Anda saat ini bertugas di militer AS, silakan hubungi GI Rights Hotline di 1-877-447-4487 atau langsung saja AWOL. Berhentilah melayani front penuh kekerasan yang menguntungkan perusahaan senjata dan pertahanan. Buat apa mati demi kepentingan mereka, dan buat apa membawa derita buat orang-orang malang di dunia seperti yang telah kita lakukan selama dua dekade terakhir kepada orang-orang Afghanistan.