“Boleh duduk di sini?” tanya seorang laki-laki yang hampir baya.
“Oh, please,” jawab saya spontan.
Dia lantas duduk di depan saya. Kami berbagi meja. Saya menunggu makan siang pertama di sebuah food court murah-meriah di timur laut Bukit Timah Road, Singapura: nasi briyani dan lassi mangga. Sementara itu, dia mengeluarkan bekal dari dalam kantong plastik kusut: beberapa potong buah, roti dan donat bergula tabur.
Sesekali saya mencuri pandang. Dia makan perlahan. Matanya menerawang, memandangi jalan raya. Kami seperti dua anak SD yang saling tak kenal pada hari pertama sekolah: sama-sama ragu memulai obrolan. “Dengan bahasa apa saya harus bicara?” pikir saya dalam hati.
“Do you live around here?” tanya saya. Anda tinggal di sekitar sini.
“Ha?” jawabnya bingung.
Saya mengulangi pertanyaan.
Dia masih bingung.
“No. Sorry. English not very good,” jawabnya. Maaf, bahasa Inggris saya tidak terlalu baik.
“Oh, sorry,” jawab saya malu. Saya lalu diam karena kikuk.
“Ada cakap Melayu kah?” lanjut saya, berharap dalam hati semoga dia tak hanya berbahasa Mandarin.
“Oh, please,” jawab saya spontan.
Dia lantas duduk di depan saya. Kami berbagi meja. Saya menunggu makan siang pertama di sebuah food court murah-meriah di timur laut Bukit Timah Road, Singapura: nasi briyani dan lassi mangga. Sementara itu, dia mengeluarkan bekal dari dalam kantong plastik kusut: beberapa potong buah, roti dan donat bergula tabur.
Sesekali saya mencuri pandang. Dia makan perlahan. Matanya menerawang, memandangi jalan raya. Kami seperti dua anak SD yang saling tak kenal pada hari pertama sekolah: sama-sama ragu memulai obrolan. “Dengan bahasa apa saya harus bicara?” pikir saya dalam hati.
“Do you live around here?” tanya saya. Anda tinggal di sekitar sini.
“Ha?” jawabnya bingung.
Saya mengulangi pertanyaan.
Dia masih bingung.
“No. Sorry. English not very good,” jawabnya. Maaf, bahasa Inggris saya tidak terlalu baik.
“Oh, sorry,” jawab saya malu. Saya lalu diam karena kikuk.
“Ada cakap Melayu kah?” lanjut saya, berharap dalam hati semoga dia tak hanya berbahasa Mandarin.
“Ah, campur-campur,” jawabnya sumeringah. Senyum saya pun pecah. Akhirnya saya punya celah obrolan. Di negara yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi sekalipun, ternyata bahasa Inggris tetaplah hal elit yang belum tentu bisa diakses semua orang. Ternyata saya tetaplah kelas menengah yang tak tahu diri, sok tahu, dan bodoh, mengira bahwa semua orang Singapura keturunan Tiongkok dapat berbahasa Inggris Singapura.
Namanya Ah Liong. Umurnya sekitar 52. Rambutnya hampir memutih seluruhnya. Kemeja putih yang dipakainya telah menguning karena usia. Celana dan sepatunya usang. Dia dan dua kerabatnya tinggal di Singapura sejak lahir, di Jalan Kukoh tepatnya. Lokasi ini berseberangan dengan Robertson Quay, dipisahkan sebuah jalan besar dari Chinatown dan agak tersembunyi dari mencoloknya kota sekitarnya.
Saya sempat menanyakan aktivitasnya di Little India, tetapi dia sungkan bercerita. Belakangan saya mendapatinya tengah mengumpulkan karton bekas dan sampah di trotoar Serangoon road, larut malam saat saya pulang menuju sebuah hostel di Mackenzie.
Di Mackenzie saya menyewa sebuah kamar bersama dengan 3 bunk bed. Murah saja. Hampir dua ratus ribu rupiah per malam.
“Lisa, ke mana orang miskin atau pengemis di Singapura?” tanya saya pada Lisa, seorang teman yang kini sedang kuliah di NUS.
Lisa baru saja tiba di hostel tempat saya menginap, duduk menunggu di sofa lobi sambil main instagram. Dia masih tetap sama. Cantik, gayanya kasual, periang, dan tahu cara berdandan. Sementara saya, tetap lusuh kalau sedang bepergian. Bagi saya, naik gunung dan perjalanan urban ibarat makan es teler dengan atau tanpa susu kental manis. Ya sama saja. Sepatunya sama, carriernya sama, backpacknya sama.
“Jauh-jauh ke SG, cuma kemiskinan yang kau cari?” celetuknya. “Ini negeri paling gengsian sama orang miskin. Kalo bisa kemiskinan dimasukkan dalam kardus TV, terus disimpan di bunker bawah tanah. Bunkernya digembok, lalu kunci gemboknya dibuang ke laut,” tutupnya.
Saya terkekeh.
“Mungkin sebentar lagi aku yang bakal dimasukkan ke kardus oleh pemerintah setempat? Sumpah, penampakanku miskin banget, ya? Sepanjang hari muter-muter Chinatown, cuma tatapan sinis orang Tiongkok yang kudapat. That fuckin racial gaze, motherfucker,” rengek saya.
Lisa tertawa. “Ya gak lah kalo sekarang. Aku kan kayak Cina. Jadi kalo kita jalan bareng di Chinatown, kamu aman. Kalo kita jalan bareng di Bugis, aku yang aman. Sepertinya selain tampak miskin, jarang juga orang Melayu betah banget muter-muter Chinatown,” katanya.
Saya pun tersenyum. Memang Lisa tampak seperti orang Tiongkok, walau dia adalah gadis batak tulen. Keluarga besarnya ada di Medan.
Namanya Ah Liong. Umurnya sekitar 52. Rambutnya hampir memutih seluruhnya. Kemeja putih yang dipakainya telah menguning karena usia. Celana dan sepatunya usang. Dia dan dua kerabatnya tinggal di Singapura sejak lahir, di Jalan Kukoh tepatnya. Lokasi ini berseberangan dengan Robertson Quay, dipisahkan sebuah jalan besar dari Chinatown dan agak tersembunyi dari mencoloknya kota sekitarnya.
Saya sempat menanyakan aktivitasnya di Little India, tetapi dia sungkan bercerita. Belakangan saya mendapatinya tengah mengumpulkan karton bekas dan sampah di trotoar Serangoon road, larut malam saat saya pulang menuju sebuah hostel di Mackenzie.
Di Mackenzie saya menyewa sebuah kamar bersama dengan 3 bunk bed. Murah saja. Hampir dua ratus ribu rupiah per malam.
“Lisa, ke mana orang miskin atau pengemis di Singapura?” tanya saya pada Lisa, seorang teman yang kini sedang kuliah di NUS.
Lisa baru saja tiba di hostel tempat saya menginap, duduk menunggu di sofa lobi sambil main instagram. Dia masih tetap sama. Cantik, gayanya kasual, periang, dan tahu cara berdandan. Sementara saya, tetap lusuh kalau sedang bepergian. Bagi saya, naik gunung dan perjalanan urban ibarat makan es teler dengan atau tanpa susu kental manis. Ya sama saja. Sepatunya sama, carriernya sama, backpacknya sama.
“Jauh-jauh ke SG, cuma kemiskinan yang kau cari?” celetuknya. “Ini negeri paling gengsian sama orang miskin. Kalo bisa kemiskinan dimasukkan dalam kardus TV, terus disimpan di bunker bawah tanah. Bunkernya digembok, lalu kunci gemboknya dibuang ke laut,” tutupnya.
Saya terkekeh.
“Mungkin sebentar lagi aku yang bakal dimasukkan ke kardus oleh pemerintah setempat? Sumpah, penampakanku miskin banget, ya? Sepanjang hari muter-muter Chinatown, cuma tatapan sinis orang Tiongkok yang kudapat. That fuckin racial gaze, motherfucker,” rengek saya.
Lisa tertawa. “Ya gak lah kalo sekarang. Aku kan kayak Cina. Jadi kalo kita jalan bareng di Chinatown, kamu aman. Kalo kita jalan bareng di Bugis, aku yang aman. Sepertinya selain tampak miskin, jarang juga orang Melayu betah banget muter-muter Chinatown,” katanya.
Saya pun tersenyum. Memang Lisa tampak seperti orang Tiongkok, walau dia adalah gadis batak tulen. Keluarga besarnya ada di Medan.
Dari cerita Lisa, Jalan Kukoh tempat Ah Liong dan kerabatnya tinggal adalah salah satu lingkungan miskin di Singapura, selain Redhill (Bukit Merah). Ada juga Tai Seng, Geylang, Hougang, dan Yishun yang punya kecenderungan komposisi kelas penduduk serupa.
“But you will find the face of poverty rather different here than what you usually see in Jakarta, or Jogja. No begging ever allowed here, so you won’t see any beggar under the traffic lights,” lanjutnya. Namun, kamu akan menemukan wajah kemiskinan yang berbeda dari yang biasanya kamu lihat di Jakarta, atau Jogja. Pengemis dilarang di jalan, jadi kamu tidak akan menemukan pengemis di bawah lampu lalu-lintas.
Susah memang mengenali kemiskinan di negara yang menolak menetapkan definisi garis kemiskinan. Selain itu, metropolis-metropolis di negara dunia pertama tampaknya punya ambisi gila untuk tampak ‘tertata, steril dan indah’, yang seringkali berarti tertata, steril dan indah dari orang-orang miskin.
Dalam satu kesempatan Lisa mengajak saya mengunjungi deretan apartemen di Jalan Kukoh, dan melihat bagaimana penduduk setempat yang miskin hidup di salah satu kota termahal di dunia ini. Sebagian penghuni kawasan ini merupakan orang-orang tua yang diabaikan oleh kerabatnya, atau para keluarga yang punya anak-anak kecil.
“Dulu aku pernah lihat ada orang tua yang harus tidur di lantai karena ranjangnya rusak. Ada juga yang madamin lampu kamarnya sepanjang malam untuk menghemat tagihan listrik,” cerita Lisa.
Seperti kota di negara dunia pertama yang pernah saya singgahi, Tokyo misalnya, selalu ada kontras kelas. Saat pertumbuhan ekonomi tampak menjulang dan berkilau lewat interior-interior kotanya, lewat MRT, stasiun, jalan-jalan tol, taman-taman yang bersih dan hijau, gedung pencakar langit, dan trotoar-trotoar yang tertata, nestapa penduduk miskinnya tetaplah ada tetapi tersembunyi dari gemerlap metropolis, tersembunyi dari jalur pelesir para pendatang macam saya.
“Kemiskinan jadi tersembunyi karena kayaknya Singapura tumbuh cepet banget dan juga jadi sangat terpisah-pisah secara sosial. Jadi secara sekilas, orang-orang gak lagi melihat kemiskinan atau orang yang hidupnya susah. Tapi sebenernya ya ada,” Lanjut lisa.
Keterpisahan sosial ini bisa dicermati dari jurang pendapatan yang semakin lebar. Globalisasi, arus investasi dan pekerja dari luar negeri yang berkelas sosial tinggi dalam dua dekade terakhir membuat pendapatan kelas menengah-atas menjulang bak Raffles Place Tower, sementara meninggalkan kantong-kantong bolong bagi penduduk kelas menengah-bawahnya.
“That trickle-down effect does not really happen, does it?” kata saya. Efek kucuran kemakmuran dari atas ke bawah itu tidak terjadi ya kan?
“Maybe. I don’t know. I am one of the groups who enjoy the economic growth, okay? So there will be biases from me,” jawab Lisa. Mungkin. Aku tak tahu. Aku salah satu anggota masyarakat yang menikmati dampak pertumbuhan ekonomi, oke? Jadi aku pasti akan bias.
“Dasar borjuis dari lahir,” kataku sinis.
Lisa tertawa saja.
“But you will find the face of poverty rather different here than what you usually see in Jakarta, or Jogja. No begging ever allowed here, so you won’t see any beggar under the traffic lights,” lanjutnya. Namun, kamu akan menemukan wajah kemiskinan yang berbeda dari yang biasanya kamu lihat di Jakarta, atau Jogja. Pengemis dilarang di jalan, jadi kamu tidak akan menemukan pengemis di bawah lampu lalu-lintas.
Susah memang mengenali kemiskinan di negara yang menolak menetapkan definisi garis kemiskinan. Selain itu, metropolis-metropolis di negara dunia pertama tampaknya punya ambisi gila untuk tampak ‘tertata, steril dan indah’, yang seringkali berarti tertata, steril dan indah dari orang-orang miskin.
Dalam satu kesempatan Lisa mengajak saya mengunjungi deretan apartemen di Jalan Kukoh, dan melihat bagaimana penduduk setempat yang miskin hidup di salah satu kota termahal di dunia ini. Sebagian penghuni kawasan ini merupakan orang-orang tua yang diabaikan oleh kerabatnya, atau para keluarga yang punya anak-anak kecil.
“Dulu aku pernah lihat ada orang tua yang harus tidur di lantai karena ranjangnya rusak. Ada juga yang madamin lampu kamarnya sepanjang malam untuk menghemat tagihan listrik,” cerita Lisa.
Seperti kota di negara dunia pertama yang pernah saya singgahi, Tokyo misalnya, selalu ada kontras kelas. Saat pertumbuhan ekonomi tampak menjulang dan berkilau lewat interior-interior kotanya, lewat MRT, stasiun, jalan-jalan tol, taman-taman yang bersih dan hijau, gedung pencakar langit, dan trotoar-trotoar yang tertata, nestapa penduduk miskinnya tetaplah ada tetapi tersembunyi dari gemerlap metropolis, tersembunyi dari jalur pelesir para pendatang macam saya.
“Kemiskinan jadi tersembunyi karena kayaknya Singapura tumbuh cepet banget dan juga jadi sangat terpisah-pisah secara sosial. Jadi secara sekilas, orang-orang gak lagi melihat kemiskinan atau orang yang hidupnya susah. Tapi sebenernya ya ada,” Lanjut lisa.
Keterpisahan sosial ini bisa dicermati dari jurang pendapatan yang semakin lebar. Globalisasi, arus investasi dan pekerja dari luar negeri yang berkelas sosial tinggi dalam dua dekade terakhir membuat pendapatan kelas menengah-atas menjulang bak Raffles Place Tower, sementara meninggalkan kantong-kantong bolong bagi penduduk kelas menengah-bawahnya.
“That trickle-down effect does not really happen, does it?” kata saya. Efek kucuran kemakmuran dari atas ke bawah itu tidak terjadi ya kan?
“Maybe. I don’t know. I am one of the groups who enjoy the economic growth, okay? So there will be biases from me,” jawab Lisa. Mungkin. Aku tak tahu. Aku salah satu anggota masyarakat yang menikmati dampak pertumbuhan ekonomi, oke? Jadi aku pasti akan bias.
“Dasar borjuis dari lahir,” kataku sinis.
Lisa tertawa saja.
Jurang pendapatan ini lestari pula berkat ketimpangan akses pendidikan. Keluarga kaya menjaga trahnya lewat sistem pendidikan. Semakin banyak anak-anak orang kaya menikmati sekolah-sekolah unggulan (yang tentu saja mahal), sementara, kelas menengah-bawahnya berjuang setengah mati untuk berebut masuk sekolah-sekolah rata-rata di tengah himpitan biaya hidup yang berat. Dalam jangka panjang, kita mendapati stratifikasi masyarakat yang makin kejam.
Pengemis tak tampak memang, mungkin juga karena bahwa kemiskinan sebagian besar diciptakan oleh kelas pekerja menengah-bawah yang punya pekerjaan tetapi upahnya sangat rendah, dan orang-orang tua yang dulu bekerja dengan upah murah sepanjang hidupnya kini sudah pensiun atau menganggur. Belum lagi keberadaan perumahan publik di sini. Jadi seringkali orang miskin biasaya punya tempat tinggal untuk berteduh.
Hal lain yang mendorong ketersembunyian ini adalah keengganan atau ketabuan untuk membicarakan kemiskinan di antara penduduk negara maju. Ya, kemiskinan mengesankan keterbelakangan, kemunduran dan kegagalan. Di kalangan penduduk Singapura yang menjadikan kesuksesan dan pertumbuhan materi sebagai salah satu orientasi hidup utama, mengakui keberadaan orang miskin sama seperti mengakui kegagalan.
“Kamu harus memandang ke depan. Ke depan. Supaya makin fokus. Seperti pakai kacamata kuda. Jadi gini loh, kiri-kanan ada lingkungan kumuh, kamu akan terus menatap ke depan. Kemiskinan tak boleh mengalihkan mimpimu untuk jadi individu yang sukses di negeri orang,” goda Lisa suatu kali.
Saya mencibir saja. “Ya. Sukses, dan persetan orang susah,” balas saya.
Lisa pun tersenyum.
Perihal keengganan untuk membahas soal kemiskinan ini pun saya temui di wajah teman sekamar saya di hostel. Ishaan namanya. Keturunan India. Umurnya sekitar 26 tahun, dan baru saja tinggal di Mackenzie selama dua minggu. Sebelumnya dia bekerja di Kuala Lumpur selama 2 tahun, sebagai teknisi mesin.
“So what kind of machine did you handle back then?” tanya saya. Jadi mesin macam apa yang kamu tangani dulu di Kuala Lumpur.
Saya baru saja selesai mandi dan mencuci pakaian. Ishan tengah membaca buku dan membalas pesan di ponselnya.
“Kind of electrical machine. You know, like generators,” jawabnya. Ya semacam mesin listrik, seperti generator.
“I see. Why did you decide to move here? Living here is more expensive than living in KL, isn’t it?” tanya saya lagi. Mengapa kamu memutuskan untuk pindah ke sini? Tinggal di sini lebih mahal daripada di Kuala Lumpur kan?
“I know. But the prospects to be more successful and wealthier are bigger here. That is my dream. I am applying for some positions now in some reputable companies, and waiting for the interviews” jawab Ishaan. Aku tahu. Namun, prospek untuk sukses dan lebih kaya lebih besar di sini. Itulah mimpi saya. Aku sedang melamar pekerjaan di beberapa perusahaan besar, dan sedang menunggu panggilan wawancara.
Dari perbincangan saya, Ishaan mengaku hanya punya bekal uang cukup untuk tinggal selama 2 bulan saja. Dan ini sudah minggu keduanya sini. Dia sudah mengirimkan lamaran, dan ada beberapa kali wawancara kerja, tetapi belum ada satu pun yang serius.
Saya masih bertanya-tanya soal harapan besar yang dia simpan di hatinya. Sepanjang malam dia banyak bercerita tentang masa lalunya, perjuangannya untuk tumbuh dewasa di New Delhi, sebelum dia memutuskan untuk ikut keluarga yang tinggal di Kuala Lumpur, lantas sekarang memutuskan untuk mencoba hidup sendiri di Singapura.
“I guess I am going to sleep now. I have to send some applications tomorrow,” kata Ishaan pamit. Sepertinya aku harus tidur sekarang. Aku harus kirim beberapa lamaran kerja besok.
“Sure. Thanks for sharing the stories,” jawab saya. Baik. Terima kasih sudah berbagi cerita.
Ishaan menggantung jas hitam miliknya satu-satunya di ranjang tingkat dua. Sepasang sepatu kulitnya diletakkan di bawah meja. Dia berbaring, menutupi wajahnya dengan selimut. Lampu kamar saya padamkan.
Dalam hati saya bertanya, “Setebal apa kacamata kuda milik Ishaan?”
Pengemis tak tampak memang, mungkin juga karena bahwa kemiskinan sebagian besar diciptakan oleh kelas pekerja menengah-bawah yang punya pekerjaan tetapi upahnya sangat rendah, dan orang-orang tua yang dulu bekerja dengan upah murah sepanjang hidupnya kini sudah pensiun atau menganggur. Belum lagi keberadaan perumahan publik di sini. Jadi seringkali orang miskin biasaya punya tempat tinggal untuk berteduh.
Hal lain yang mendorong ketersembunyian ini adalah keengganan atau ketabuan untuk membicarakan kemiskinan di antara penduduk negara maju. Ya, kemiskinan mengesankan keterbelakangan, kemunduran dan kegagalan. Di kalangan penduduk Singapura yang menjadikan kesuksesan dan pertumbuhan materi sebagai salah satu orientasi hidup utama, mengakui keberadaan orang miskin sama seperti mengakui kegagalan.
“Kamu harus memandang ke depan. Ke depan. Supaya makin fokus. Seperti pakai kacamata kuda. Jadi gini loh, kiri-kanan ada lingkungan kumuh, kamu akan terus menatap ke depan. Kemiskinan tak boleh mengalihkan mimpimu untuk jadi individu yang sukses di negeri orang,” goda Lisa suatu kali.
Saya mencibir saja. “Ya. Sukses, dan persetan orang susah,” balas saya.
Lisa pun tersenyum.
Perihal keengganan untuk membahas soal kemiskinan ini pun saya temui di wajah teman sekamar saya di hostel. Ishaan namanya. Keturunan India. Umurnya sekitar 26 tahun, dan baru saja tinggal di Mackenzie selama dua minggu. Sebelumnya dia bekerja di Kuala Lumpur selama 2 tahun, sebagai teknisi mesin.
“So what kind of machine did you handle back then?” tanya saya. Jadi mesin macam apa yang kamu tangani dulu di Kuala Lumpur.
Saya baru saja selesai mandi dan mencuci pakaian. Ishan tengah membaca buku dan membalas pesan di ponselnya.
“Kind of electrical machine. You know, like generators,” jawabnya. Ya semacam mesin listrik, seperti generator.
“I see. Why did you decide to move here? Living here is more expensive than living in KL, isn’t it?” tanya saya lagi. Mengapa kamu memutuskan untuk pindah ke sini? Tinggal di sini lebih mahal daripada di Kuala Lumpur kan?
“I know. But the prospects to be more successful and wealthier are bigger here. That is my dream. I am applying for some positions now in some reputable companies, and waiting for the interviews” jawab Ishaan. Aku tahu. Namun, prospek untuk sukses dan lebih kaya lebih besar di sini. Itulah mimpi saya. Aku sedang melamar pekerjaan di beberapa perusahaan besar, dan sedang menunggu panggilan wawancara.
Dari perbincangan saya, Ishaan mengaku hanya punya bekal uang cukup untuk tinggal selama 2 bulan saja. Dan ini sudah minggu keduanya sini. Dia sudah mengirimkan lamaran, dan ada beberapa kali wawancara kerja, tetapi belum ada satu pun yang serius.
Saya masih bertanya-tanya soal harapan besar yang dia simpan di hatinya. Sepanjang malam dia banyak bercerita tentang masa lalunya, perjuangannya untuk tumbuh dewasa di New Delhi, sebelum dia memutuskan untuk ikut keluarga yang tinggal di Kuala Lumpur, lantas sekarang memutuskan untuk mencoba hidup sendiri di Singapura.
“I guess I am going to sleep now. I have to send some applications tomorrow,” kata Ishaan pamit. Sepertinya aku harus tidur sekarang. Aku harus kirim beberapa lamaran kerja besok.
“Sure. Thanks for sharing the stories,” jawab saya. Baik. Terima kasih sudah berbagi cerita.
Ishaan menggantung jas hitam miliknya satu-satunya di ranjang tingkat dua. Sepasang sepatu kulitnya diletakkan di bawah meja. Dia berbaring, menutupi wajahnya dengan selimut. Lampu kamar saya padamkan.
Dalam hati saya bertanya, “Setebal apa kacamata kuda milik Ishaan?”
Salah satu catatan perjalanan selama rangkaian solo backpacking saya di Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand