Pekan Sipil Mahasiswa Vokasi Teknik Sipil UGM selalu berharga. Dua kali saya berkesempatan untuk berkontribusi di Pekan ini, dua kali pula saya orgasme. Pertama, ia berbeda karena, ketimbang sejumlah gig-gig di ruang internal kampus yang pernah saya hadiri, Pekan Sipil berani berangkat dari motif dan tema-tema politis. Di saat fakultas-fakultas lain berlomba menghadirkan selebriti ibukota dengan tema-tema cinta bermerek pembalut wanita, persahabatan bermerek es krim rasa coklat dan vanila, atau rasa sayang dalam sebuah kartu perdana operator telepon seluler, demi membuat gedung konser membludak dan sekali lagi mengamini bahwa “Dunia Baik-Baik Saja”, orang-orang di balik Pekan Sipil masih setia dengan ruang tandingannya: kritik sosial dan masalah struktural yang makin lama makin dilupakan orang.
Yang kedua, hubungan antara panitia penyelenggara dan pengisi acaranya melampaui hubungan formal yang kaku dan dingin, melampaui hubungan transaksional antara mereka yang ‘memesan’ pengisi acara dan pengisi acara sendiri. Panitia-panitianya adalah kawan-kawan yang didekatkan karena kegelisahan yang sama tentang hidup yang tak lagi merdeka, adalah mahasiswa-mahasiswa yang, selepas panggung bubar, tak sungkan berkeluh-kesah dan bercerita tentang beban dan tekanan kampus yang makin banyak, tentang hidup yang makin susah karena ongkos kuliah mahal, tentang kawan-kawannya yang sudah berhenti peduli pada situasi kampus dan masalah sosial di sekitarnya, dan tentang obat penyembuh kegelisahan akut yang tak lagi mereka temukan di ruang-ruang ekspresi mapan yang ada.
Pekan Sipil setahun yang lalu diadakan untuk menggalang donasi dan dukungan moral bagi mahasiswa-mahasiswa dari keluarga tak mampu yang terancam di-DO oleh kampus, dan mengadvokasi mahasiswa-mahasiswa tersebut di hadapan otoritas kampus. Pada kesempatan itu, saya dan band saya terdahulu, Ilalang Zaman, berkesempatan untuk mengisi acara. Kami mendapat banyak ruang untuk mengangkat masalah struktural di banyak tempat, khususnya di Jogja: penggusuran PKL dan PSK di Parangkusumo, ekspansi kapital dalam bentuk condotel, apartemen, hotel, resort, dan industri wisata lainnya yang makin merangsek dan menghancurkan ruang-ruang hidup kelas pinggiran, megaproyek tambang pasir besi di Kulon Progo, dan banyak lainnya.
Pekan Sipil tahun ini serupa, bahkan lebih lantang. Dekorasi acara yang diadakan di hanggar Vokasi Teknik Sipil UGM ini kini ditambah dengan poster-poster kritik karya Anti-Tank Project yang mengangkat banyak kasus konflik ruang hidup di Jogja. Pengisi acaranya juga diambil dari sejumlah orang yang vokal menantang kelaliman Keraton, penguasa Jogja. Salah satu yang hadir dan sempat berorasi adalah Dodok Putra Bangsa, salah satu pegiat Warga Berdaya – wadah perjuangan yang turut memperjuangkan hak-hak ruang hidup warga di tengah maraknya penggusuran di Jogja.
Pekan Sipil tahun ini serupa, bahkan lebih lantang. Dekorasi acara yang diadakan di hanggar Vokasi Teknik Sipil UGM ini kini ditambah dengan poster-poster kritik karya Anti-Tank Project yang mengangkat banyak kasus konflik ruang hidup di Jogja. Pengisi acaranya juga diambil dari sejumlah orang yang vokal menantang kelaliman Keraton, penguasa Jogja. Salah satu yang hadir dan sempat berorasi adalah Dodok Putra Bangsa, salah satu pegiat Warga Berdaya – wadah perjuangan yang turut memperjuangkan hak-hak ruang hidup warga di tengah maraknya penggusuran di Jogja.
“Wah, tadi mas Dodok orasinya sangar. Sampai maki-maki Sultan juga!” ujar Dimas & Pandu, beberapa penggiat Pekan tersebut.
Kali ini saya tampil untuk menutup acara.
Lagu pertama adalah medley antara “Kami yang Tuan Risaukan” (KYTR) dan “Bumi Terobati”. KYTR adalah tembang-puisi karya Bodi – penyair dari Talamariam, yang sudah lama ingin saya ajak kolaborasi. Pertama kali menyimak tembang-puisi berwarna Jawa ini di Soundcloud, saya langsung merinding. Tembang-puisi ini mistis, bergaung, menantang, sublim, indah. Ia memperlihatkan betapa kontrasnya hidup penguasa dengan rakyat jelata. Ia seakan-akan ingin berkata, “Kalau kami melawan, kau mau apa?” Semenjak mendengarkan tembang-puisi ini pertama kali, saya selalu ingin Bodi membacakan puisinya di atas panggung bersama saya, dan membayangkan betapa akan merindingnya saya di atas panggung. Malam itu, mimpi saya jadi nyata. Saya merinding berkali-kali.
Kali ini saya tampil untuk menutup acara.
Lagu pertama adalah medley antara “Kami yang Tuan Risaukan” (KYTR) dan “Bumi Terobati”. KYTR adalah tembang-puisi karya Bodi – penyair dari Talamariam, yang sudah lama ingin saya ajak kolaborasi. Pertama kali menyimak tembang-puisi berwarna Jawa ini di Soundcloud, saya langsung merinding. Tembang-puisi ini mistis, bergaung, menantang, sublim, indah. Ia memperlihatkan betapa kontrasnya hidup penguasa dengan rakyat jelata. Ia seakan-akan ingin berkata, “Kalau kami melawan, kau mau apa?” Semenjak mendengarkan tembang-puisi ini pertama kali, saya selalu ingin Bodi membacakan puisinya di atas panggung bersama saya, dan membayangkan betapa akan merindingnya saya di atas panggung. Malam itu, mimpi saya jadi nyata. Saya merinding berkali-kali.
Ayu, keyboardis Talamariam, juga menemani kami. Efek suara synthesizernya berpadu-padan dengan derap syair Bodi, melipat-gandakan kemistisan dan kemuraman yang sudah ada dalam puisi itu sejak lahir. Saya menutup KYTR dengan “Bumi Terobati”—salah satu lagu yang saya tulis untuk semua orang yang diracuni asap hasil kebiadaban perusahaan Sawit di Borneo, Sumatera, hingga Papua dan wilayah timur Indonesia lainnya.
Syair Bodi dan synthesizer Ayu membantu saya mencapai orgasme pertama di panggung itu.
Lagu kedua adalah “Perempuan Mati di Bawah Jembatan”–lagu yang saya tulis untuk mengenang E, salah seorang korban kekerasan seksual di Jogja yang ditemukan meninggal akibat kekerasan seksual di bawah Jembatan Janti, serta untuk semua korban dan survivor kekerasan seksual lainnya di mana saja.
Syair Bodi dan synthesizer Ayu membantu saya mencapai orgasme pertama di panggung itu.
Lagu kedua adalah “Perempuan Mati di Bawah Jembatan”–lagu yang saya tulis untuk mengenang E, salah seorang korban kekerasan seksual di Jogja yang ditemukan meninggal akibat kekerasan seksual di bawah Jembatan Janti, serta untuk semua korban dan survivor kekerasan seksual lainnya di mana saja.
Tembang ini berjalan biasa saja hingga menjelang akhir lagu, Bodi, dan Andien–kawan saya yang juga adalah survivor kekerasan seksual–tiba-tiba maju ke depan penonton dan melakukan aksi teatrikal secara spontan. Mereka memainkan lakon perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Bodi hilang kendali, marah-marah dan berteriak-teriak pada penonton, sementara Andien terjelungkup ke tanah. Kepalanya terbungkus kantong plastik, tubuhnya diinjak-injak. Mereka mencoba menyampaikan pesan: betapa banyak orang diam dan maklum saat kekerasan seksual terjadi karena takut kenyamanannya sendiri terganggu.
Saya kaget sekaligus bahagia dengan aksi mereka. Bagi saya, spontanitas tersebut adalah tanda bahwa banyak emosi yang pecah dan banyak energi yang dilibatkan dalam lagu kedua ini.
Saya orgasme untuk kedua kalinya.
Saya kaget sekaligus bahagia dengan aksi mereka. Bagi saya, spontanitas tersebut adalah tanda bahwa banyak emosi yang pecah dan banyak energi yang dilibatkan dalam lagu kedua ini.
Saya orgasme untuk kedua kalinya.
Lagu terakhir adalah “Manusia Tanpa Nama” – lagu yang saya tulis untuk mengisahkan bagaimana orang-orang yang tertindas hampir selalu tak punya Sejarah karena Sejarah ditulis oleh mereka yang menang, oleh para penguasa. Lagu ini diawali dengan satu sajak yang saya tulis, “Sajak Pembuka”:
Demi buruh-buruh Dunia Ketiga, yang upahnya seharga sepasang sepatu Adidas Jeremy Scott, yang dipakai eksekutif muda Eropa jogging sore seusai kerja,
Demi manusia-manusia pedalaman, yang nyawanya dihargai sebotol bir dingin, di tangan brimob-brimob yang senang memamer-mamerkan kelaminnya,
Demi keturunan suku Malind Papua, Tobelo Halmahera, yang hutannya diubah Tambang Aneka dan Tommy Winata, jadi barcode-barcode harga, dalam proposal izin eksplorasi, di meja badan penanaman investasi,
Demi petani-petani Mesuji dan Ramunia, Padumaan Sipituhuta, Kulon Progo, Kebumen Utara, Kendeng, Takalar dan Karawang, yang buminya mengeluarkan darah karena beramai-ramai diperkosa, oleh Keraton dan Negara, TPL dan Semen Indonesia, Agung Podomoro dan Artha Graha,
Demi jasad Marsinah, yang hancur dihujam bayonet tentara, dan buruh migran perempuan Indonesia, yang mati di tiang-tiang gantungan Saudi Arabia, dan kerandanya ditempeli ucapan terima kasih: "Pahlawan Devisa",
Demi gembel dan orang gila, kampung kumuh dan pedagang kaki lima, yang dihapus dari pandangan mata, setiap kunjungan kerja pejabat negara, yang senang mengusap-ngusap garuda di dadanya seraya berkata,
"Look, sir, Indonesia is a beautiful country, isn't it?
Why don't you visit Jakarta? Why don't you visit Jakarta?"
Dan akhirnya, demi kita yang berdiri di sini, dan menyaksikan semuanya, hening membatu dalam hujat, "Anjing. Anjing. Keparat. Keparat Anjing Anjing Keparat" Lalu pulang, dengan tanya di kepala,
"Kau bisa apa? Kau bisa apa?"
Lagu terakhir ini merupakan puncak orgasme saya. Puncak yang memungkinkan saya untuk memaki-maki dan mengorek borok Kekuasaan sepuasnya di hadapan orang-orang yang hadir di acara itu. Puncak saat rasa gugup dan upaya untuk mengendalikan diri di hadapan penonton tak lagi ada, tak lagi penting.
Seusai panggung bubar, di luar gedung, saat saya beranjak meninggalkan lokasi acara, saya sempat berbincang dengan beberapa penonton yang hadir tentang kasus-kasus penggusuran ruang hidup di Jogja. Perbincangan dan interaksi macam ini menambah rasa kebahagiaan saya.
Ada pertanyaan, kegelisahan dan keingintahuan yang tumbuh di kalangan orang-orang yang hadir di Pekan tersebut walau tak seberapa. Dengan begitu, bagi saya, pekan Sipil ini tak hanya telah mengupayakan namun juga menggenapi salah satu niat pentingnya: menjadi ruang tandingan untuk mengangkat kenyataan-kenyataan pahit yang tak laku di panggung-panggung mewah berharga ratusan juta.
Dan saya bahagia bisa turut membantu dan bersumbangsih sebisanya.
Demi buruh-buruh Dunia Ketiga, yang upahnya seharga sepasang sepatu Adidas Jeremy Scott, yang dipakai eksekutif muda Eropa jogging sore seusai kerja,
Demi manusia-manusia pedalaman, yang nyawanya dihargai sebotol bir dingin, di tangan brimob-brimob yang senang memamer-mamerkan kelaminnya,
Demi keturunan suku Malind Papua, Tobelo Halmahera, yang hutannya diubah Tambang Aneka dan Tommy Winata, jadi barcode-barcode harga, dalam proposal izin eksplorasi, di meja badan penanaman investasi,
Demi petani-petani Mesuji dan Ramunia, Padumaan Sipituhuta, Kulon Progo, Kebumen Utara, Kendeng, Takalar dan Karawang, yang buminya mengeluarkan darah karena beramai-ramai diperkosa, oleh Keraton dan Negara, TPL dan Semen Indonesia, Agung Podomoro dan Artha Graha,
Demi jasad Marsinah, yang hancur dihujam bayonet tentara, dan buruh migran perempuan Indonesia, yang mati di tiang-tiang gantungan Saudi Arabia, dan kerandanya ditempeli ucapan terima kasih: "Pahlawan Devisa",
Demi gembel dan orang gila, kampung kumuh dan pedagang kaki lima, yang dihapus dari pandangan mata, setiap kunjungan kerja pejabat negara, yang senang mengusap-ngusap garuda di dadanya seraya berkata,
"Look, sir, Indonesia is a beautiful country, isn't it?
Why don't you visit Jakarta? Why don't you visit Jakarta?"
Dan akhirnya, demi kita yang berdiri di sini, dan menyaksikan semuanya, hening membatu dalam hujat, "Anjing. Anjing. Keparat. Keparat Anjing Anjing Keparat" Lalu pulang, dengan tanya di kepala,
"Kau bisa apa? Kau bisa apa?"
Lagu terakhir ini merupakan puncak orgasme saya. Puncak yang memungkinkan saya untuk memaki-maki dan mengorek borok Kekuasaan sepuasnya di hadapan orang-orang yang hadir di acara itu. Puncak saat rasa gugup dan upaya untuk mengendalikan diri di hadapan penonton tak lagi ada, tak lagi penting.
Seusai panggung bubar, di luar gedung, saat saya beranjak meninggalkan lokasi acara, saya sempat berbincang dengan beberapa penonton yang hadir tentang kasus-kasus penggusuran ruang hidup di Jogja. Perbincangan dan interaksi macam ini menambah rasa kebahagiaan saya.
Ada pertanyaan, kegelisahan dan keingintahuan yang tumbuh di kalangan orang-orang yang hadir di Pekan tersebut walau tak seberapa. Dengan begitu, bagi saya, pekan Sipil ini tak hanya telah mengupayakan namun juga menggenapi salah satu niat pentingnya: menjadi ruang tandingan untuk mengangkat kenyataan-kenyataan pahit yang tak laku di panggung-panggung mewah berharga ratusan juta.
Dan saya bahagia bisa turut membantu dan bersumbangsih sebisanya.
Foto-foto oleh Ferdhi F. Putra