Yab Sarpote
  • Home
  • ANATOMI SUNYI
  • Contact & Subscription
  • MEMOAR

ArtJog, Ruang Seni di Era Kapitalisme Industrial, dan Fragmen Ruang Seni Alternatif

6/17/2016

6 Comments

 
Picture
Spanduk sponsor ArtJog 2016
Paling tidak, selama dua minggu terakhir (dan kemungkinan besar masih akan menyisakan proses-prosesnya di kemudian hari), ada polemik di Jogja seputar ArtJog tahun ini. Sebagian kelompok dan individu melayangkan protes, seruan permintaan maaf dari panitia, hingga seruan boikot.

Hal yang menyulut respons resisten ini adalah munculnya logo PT. Freeport di spanduk acara sebagai salah satu sponsor. Kehadiran perusahaan industri ekstraktif yang sudah puluhan tahun jadi salah satu sebab utama kerusakan alam, konflik horizontal, militerisasi wilayah, kekerasan, kerusakan ruang hidup, serta marjinalisasi terhadap pola produksi dan cara hidup masyarakat pribumi di Papua Barat, dipandang sebagai kelalaian, ketidak-pedulian dan tiadanya empati dan rasa solidaritas panitia dan seniman peserta ArtJog terhadap masyarakat Papua yang masih berhadapan dengan kerusakan dan bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh korporasi raksasa tersebut.
Sebenarnya, sependek pengetahuan saya, ArtJog bukanlah satu-satunya ruang seni yang mendapat dana dari industri ekstraktif—belum termasuk ruang-ruang seni yang dapat dana dari perusahaan kapitalistik lain yang non-ekstraktif tetapi eksploitatif terhadap buruhnya. Banyak eksistensi ruang-ruang seni lainnya juga disokong lewat model pendanaan korporat serupa. Hanya, mungkin saja, respons resisten kali ini jauh lebih heboh akibat simbol PT. Freeport yang terpampang di spanduk acara, dan survei publik PT. Freeport pada pengunjung ArtJog lewat login akses Wi-Fi gratis yang disediakannya. Beberapa pihak menilai sponsor dan survei ini digunakan sebagai legitimasi dan parameter penerimaan publik terhadap keberadaan Freeport di Papua. Selain itu, ada kontradiksi yang menganga: karya-karya dan seniman yang mengangkat masalah kerusakan lingkungan dan kritik sosial turut hadir dalam pasar seni yang serbakorporat itu.

Bagi saya, kalau mau konsisten dengan penutupan akses pendanaan terhadap industri ekstraktif, jangan tanggung-tanggung. Harusnya tak hanya Freeport yang jadi sasaran. Bank Mandiri harusnya diperlakukan demikian. Bank Mandiri adalah salah satu investor terbesar PT. Semen Indonesia – perusahaan industri ekstraktif multinasional milik Indonesia yang butuh pasokan bahan mentah dari wilayah-wilayah kapur di Indonesia (selain di Vietnam dan di Myanmar). Salah satunya adalah pegunungan Kendeng yang sebagian warganya giat menolak keberadaan korporasi ini di wilayahnya.

Ada juga Pertamina, yang tak terhitung jumlah pencemaran air tanah, kerusakan ruang hidup, relokasi penduduk, pencemaran laut, polusi udara dan lainnya. Yang masih berlangsung adalah perlawanan warga di sejumlah daerah di Indramayu yang menolak survei seismik Pertamina untuk menemukan ladang-ladang minyak baru, serta penutupan akses ke ladang minyak Pertamina setelah warga mendapati bahwa air tanah dan sawah mereka tercemar limbah Pertamina.

Jangan lupakan sponsor lainnya acara ini, Pemda DIY. Seperti halnya struktur negara-bangsa di mana pun dalam kapitalisme industrial dewasa ini, negara adalah salah satu aktor utama ekspansi kapital di teritori kekuasaannya. Bentuknya bermacam-macam. Kita contohkan saja yang ada di Jogja: mulai dari industri pariwisata seperti pembangunan condotel, hotel, apartemen, water boom di daerah padat penduduk di perkotaan, dan aero sport di daerah pesisir, industri ekstraktif seperti tambang pasir besi di Kulonprogo, tambang kapur di Gunung Kidul, hingga industri infrastruktur dan transportasi seperti Bandara Internasional di Temon, atau Pelabuhan di Kulonprogo yang harus ada demi menopang industri lainnya. Industri-industri ini sudah, sedang, dan akan mengakibatkan dampak yang serupa seperti di Papua dan di daerah hulu industri ekstraktif lainnya di seluruh dunia, dengan derajat yang berbeda: industri menggusur dan mengubah lanskap ruang hidup masyarakat yang hidup di tempat tersebut (seperti petani, masyarakat yang berburu dan meramu), dan setelahnya menghadirkan buruh-buruh upahan yang tak punya kepemilikan dan kontrol atas tempat kerja dan hasil kerjanya—karena tempat kerja dan surplus produksi adalah milik pemodalnya.

Ada banyak macam motif kemunculan respons resisten terhadap ArtJog. Salah satu yang terpenting dan menarik bagi saya adalah motif fundamental terkait resistensi terhadap industri ekstraktif, dan lebih jauh lagi, terhadap komodifikasi aspek hidup. Sebagian publik tidak setuju dengan saluran dana dari industri ekstraktif yang menjadi sebab kehancuran lingkungan dan bencana kemanusian. Lebih jauh lagi, sebagian publik tidak setuju dengan komodifikasi atas segala aspek hidup termasuk ruang seni, dan menginginkan bentuk-bentuk ruang seni lain yang tidak terkomodofikasi, yang tidak melulu transaksional. Sebagian publik menginginkan ruang seni yang menawarkan alternatif bagi komodifikasi yang menggurita ini. Sebagian publik menginginkan ruang seni yang tak didisplinkan oleh hukum-hukum pasar yang di dalamnya jalinan rasa antar manusia yang hilang dalam relasi transaksional bisa hadir: solidaritas sesama manusia, empati terhadap orang-orang yang berhadapan langsung dengan korporasi ekstraktif.
Picture
Survei dalam panel login di ArtJog yang disponsori oleh Freeport
Dilihat dari dasar ini, bagi saya, ArtJog adalah persis kebalikan dari semua ekspektasi ini. ArtJog adalah pasar seni. Ini sudah gamblang. Upaya untuk menyangkalnya adalah kesia-siaan. Aktivitas ArtJog sendiri dari kali pertama pelaksanaannya sudah memperlihatkan hal tersebut. Ada karya seni yang dipampang untuk ditonton dan dibeli, dan ada pengunjung pasar seni yang membeli tiket untuk menonton dan/atau membeli produk seni yang dipajang di acara tersebut. Ada pedagang, ada konsumen. Ini saja sudah cukup. ArtJog adalah ruang transaksional. Namun, kalau merasa hal ini belum cukup, mari tengok pernyataan gamblang Agung Kurniawan, salah seorang panitia ArtJog, saat menanggapi polemik ini:

“buat temen seniman harap jangan bikin ekspetasi terlalu besar, ini cuman jualan seni yg digincu gemerlap teknologi.”

Maka dari itu, layaknya pasar seni, ia harus patuh terhadap hukum-hukum pasar yang mendasari eksistensinya: pemilihan tempat haruslah strategis di jantung kota seperti Taman Budaya, karya-karya seninya haruslah ekslusif, unik, dan terbatas supaya permintaan dan daya tawar (harganya) tak turun, produsen seninya haruslah sudah atau berpotensi punya nama dalam pasar seni global, pangsa pasarnya haruslah merengkuh tingkat global, gincu teknologinya haruslah digarap habis-habisan menyerupai spektakel pasar-pasar seni global supaya pelanggan globalnya feeling at home. Bahkan, kalau ada kontradiksi yang menganga antara hadirnya karya-karya (dan seniman) yang mengangkat kerusakan ekologis dan kritik sosial dalam acara yang menerima sponsor korporat, ini bisa dimaknai bahwa tema-tema kritik sosial atau kritik terhadap kerusakan lingkungan di Artjog tak lebih dari sekadar label tematis seperti halnya kaos Che Guevara yang dijual massal di pasar Beringharjo atau stiker Save Earth! di kaca sebuah sedan Volvo. Ia tak lebih dari sekadar produk dagangan yang sudah tak punya esensi selain dijual dan dibeli.

Bagi saya, protes lewat panggilan untuk meminta maaf dan seruan boikot sendiri adalah sebuah respons resisten yang positif di tengah mengguritanya komodifikasi segala aspek hidup termasuk ruang seni dan, di tingkat yang lebih spesifik, di tengah terpaparnya ruang seni oleh aliran dana dari industri ekstraktif.

Hanya saja, bagi saya, menyasar Freeport belumlah cukup. Seperti yang saya contohkan lewat Bank Mandiri, Pertamina, Pemda, masih banyak proses sirkulasi kapital lain yang berjalan dengan proses serupa dan menghasilkan dampak ekologis destruktif serupa. Seni dan relasinya dengan kapitalisme industrial tak bisa diakali lewat isolasi dalam ruang seni semata.

Memboikot sponsor industri ekstraktif dalam ruang-ruang seni ibarat obat pereda sakit bagi kronisnya kapitalisme industrial dewasa ini. Ia adalah hidra. Menebas kepalanya hari ini, kita bisa segera temui kepalanya yang lain di ruang yang lain, termasuk ruang hidup kita sehari-hari.
Hal yang lebih mendasar adalah keberadaan kapitalisme industrial tidak hanya dihidupi dan dijustifikasi oleh ruang seni yang menerima pendanaan darinya, tetapi oleh cara hidup kita sehari-hari sebagai masyarakat kapitalis urban-industrial. Siapa yang bisa memastikan kalau sebagian publik yang memprotes kehadiran industri ekstraktif di ruang seni tak menggunakan hasil-hasil produksi industri tersebut? Siapa hari ini yang tak menggunakan bahan bakar fosil? Siapa hari ini yang sistem keuangannya tak terhubung dengan sistem kapital keuangan yang nilainya ditopang oleh suplai emas yang salah satunya ditambang oleh Freeport? Rumah siapa hari ini yang tak dibangun dari semen hasil tambang karst? Buku mana yang tak menggunakan pasokan kertas dari perkebunan-perkebunan ekaliptus?

Untuk menjaga denyut nadinya, kapitalisme harus menciptakan permintaan terhadap dirinya sendiri, membuat dirinya dan produknya diperlukan, dan membuat hidup tanpa mekanisme pasokan produk-produknya menjadi tak terbayangkan, sehingga keberadaannya jadi punya alasan. Kesengsaraan dan kehancurannya di mana-mana harus dipandang sebagai harga yang layak dibayar jika ingin memperoleh barang dan jasanya.

Dalam konteks kapitalisme industrial, suplai pasokan kertas di bidang pendidikan berarti harus menambah eskpansi perkebunan ekaliptus di suatu tempat, seperti di wilayah komunitas adat Padumaan Sipituhuta. Suplai minyak goreng, sabun mandi, lotion, mentega, shampoo, kosmetik kita setiap hari harus menambah berhektar-hektar lahan sawit baru di Borneo, Sumatera dan Papua, dan tempat-tempat lain yang menghancurkan ruang hidup masyarakat pribumi non-sawit. Suplai bahan bakar fosil untuk kendaraan berarti ladang-ladang minyak baru yang satu paket dengan kebocoran minyaknya, potensi kesalahan teknisnya, pencemaran air tanahnya. Menjamurnya perumahan berarti kehancuran gunung-gunung kapur baru yang satu paket dengan kesengsaraan yang contohnya tengah ditolak oleh sebagian warga pegunungan Kendeng saat ini.

Dengan kata lain, ruang seni hanyalah satu aspek hidup yang keberadaannya rentan bersimbiosis dengan rantai hidup kapitalisme industrial. Ketergantungan seni pada kapitalisme industrial adalah cerminan ketergantungan manusia modern pada cara hidup yang dibentuk oleh kapitalisme industrial.

Untuk mengakhiri koeksistensi ruang seni dengan industri ekstraktif, koeksistensi industri ekstraktif dengan kerusakan alam dan bencana kemanusiaan, artinya kita harus juga melakukan resistensi terhadap kapitalisme industrial sendiri, dan pada akhirnya, pada kapitalisme sendiri. Maka dari itu, perlawanan dalam ruang-ruang seni harus juga berarti perlawanan untuk menumbangkan kapitalisme.

Kepemilikan dan Kendali Alat Produksi di Tangan Kelas Pekerja

Ada salah satu upaya fundamental yang saya anggap menjanjikan dalam proses perjuangan menuju masyarakat pascakapitalisme dewasa ini. Walaupun upaya ini bukanlah solusi tunggal untuk mengakhiri kapitalisme dan eksploitasi dan kerusakan alam yang diakibatnya, ia menjadi upaya yang sangat mendasar untuk mengubah relasi produksi manusia, dan nantinya relasi manusia dengan alam.

Ia adalah penghapusan hierarki dalam relasi produksi di tempat kerja, kepemilikan dan kendali alat dan arah produksi di tangan pekerja, dan ditinggalkannya perburuan nilai tukar dan akumulasi kekayaan material sebagai pendorong dan orientasi utama produksi manusia.
Upaya ini mendorong penghapusan kelas-kelas kapitalis/bos/majikan (baik swasta maupun birokrat-birokrat dan teknokrat partai dan negara) yang jumlahnya segelintir dan menguasai mayoritas alat dan arah produksi di seluruh dunia, lalu meletakkan kepemilikan dan kendali alat dan arah produksi ke tangan kelas pekerja.

Dalam sistem kapitalisme, tempat minoritas bos menguasasi kepemilikan dan arah produksi di seluruh dunia, produksi manusia dipandu oleh motif nilai tukar (exchange value), ketimbang nilai guna (use value). Alhasil, perkembangan produksi manusia berjalan di atas rel eksploitasi alam dan manusia yang irasional dan tanpa batas demi akumulasi kekayaan material.

Sebagai contoh, produksi semen untuk memenuhi kebutuhan bisnis perumahan di perkotaan telah mengakibatkan kehancuran ekologis yang belum pernah ada sebelumnya di wilayah-wilayah kapur, munculnya kelas-kelas tanpa tanah di pedesaan yang jadi buruh di sekitar situs tambang atau perantau di daerah lain, dan penggusuran besar-besaran di daerah “kumuh” di perkotaan demi menyediakan ruang bagi perumahan-perumahan ini.

Di sisi lain, menjamurnya produksi perumahan massal di perkotaan ini berbanding terbalik dengan akses mayoritas orang terhadap tempat tinggal. Jadi, di era kapitalisme dewasa ini, tempat kapasitas produksi mampu menghasilkan rumah dengan jumlah jauh lebih berlimpah daripada era-era sebelumnya, banyak orang justru tak punya tempat tinggal: “people-less homes and homeless people (orang-orang tanpa rumah dan rumah-rumah tanpa orang),” ungkap sebuah karikatur yang cukup cermat menangkap dampak yang diakibatkan oleh nilai tukar sebagai orientasi produksi manusia ini.

Fenomena macam ini wajar terjadi karena bisnis perumahan ada bukan untuk memenuhi nilai gunanya sebagai tempat tinggal melainkan untuk mengejar target nilai tukar. Para developer perumahan membeli hektaran tanah dengan modal C digit, membangun perumahan di atasnya dengan modal C digit, lalu di saat yang tepat, menjual rumah-rumah tersebut dengan harga CCC digit. Di antara buruh upahan seperti saya yang tak punya cukup uang dengan perumahan yang harganya akan dilambungkan dari tahun ke tahun, menantilah pemain-pemain nilai tukar dalam komoditas lain: kreditor, entah dari Bank negara maupun kreditor swasta. Kreditor meminjamkan uang sebesar CCC digit kepada mayoritas orang yang tak mampu membeli rumah, lalu memanen nilai tukar sebesar CCCCC digit dalam 10-20 tahun ke depan dari tangan peminjam.

Di masa-masa booming industri perumahan, developer dan/atau kreditor bisnis perumahan bisa meraup nilai tukar yang tak pernah terbayangkan besarnya oleh buruh upahan macam saya. Pendapatan dari nilai tukar tersebut akan mereka putar lagi untuk membeli tanah-tanah baru, mendirikan rumah-rumah baru, dan menggelontorkan pinjaman-pinjaman baru. Akan tetapi, di masa-masa krisis kapitalisme, saat output produksi perumahan menjulang karena digenjot terus-menerus oleh kompetisi perburuan nilai tukar dan akumulasi kekayaan material tadi, sementara calon pembeli tak mampu menyerap outputnya karena pendapatan yang rendah, tersisalah deretan-deretan rumah yang jadi bangkai karena sudah tak mampu menanggung biaya perawatan prajual, developer-developer yang menanggung hutang, kreditor-kreditor yang harus banting-tulang menertibkan kredit macet, dan kelas-kelas pekerja yang tetap tak bisa punya rumah.

Produksi berbasiskan hasrat nilai tukar dan akumulasi kekayaan material ini bahkan bisa ditemui pada aktivitas yang diciptakan tanpa nilai guna sama sekali: PERANG. Pertambangan logam untuk suplai bahan mentah senjata, produsen senjata, transportasi tentara, hingga bisnis pemulihan infrastruktur pascaperang adalah pemain-pemain besar yang berburu nilai tukar dari perang.
Kegilaan perburuan nilai tukar dan kehancuran yang disebabkannya berakar salah satunya dari keterasingan para pekerja dari alat, proses, dan arah produksinya. Keterasingan dari proses dan arah produksinya ini juga akhirnya mengasingkan dirinya dari tujuan hidup yang makin seragam dengan majikan-majikannya: akumulasi kekayaan material. Di dalam relasi antarmanusia, ada koneksi yang kian lama makin hilang dari manusia-manusia yang tak pernah memiliki secara kolektif alat produksinya dan membicarakan arah produksinya secara langsung, karena ia telah diwakili oleh bos-bos produksinya.

Buruh pabrik semen di Cilegon, misalnya, tidak benar-benar bisa mengendalikan apa yang terjadi pada semen yang ia buat setelah semen tersebut keluar dari tempat kerjanya. Penghuni perumahan di Jabodetabek, misalnya, tidak benar-benar tahu dan bisa mengendalikan kerusakan dan kesengsaraan yang disebabkan oleh produksi semen yang membangun kediamannya. Hanya para bos lah –misalnya lingkar manajerial, pemegang saham, kreditur, gubernur, menteri pekerjaan umum, presiden, developer seperti Agung Podomoro dll—yang tahu, menguasai dan mengendalikan produksi tersebut. Keterasingan macam ini terjadi di seluruh tempat-tempat kerja yang masih berjalan dalam hierarki majikan atas kelas pekerjanya.
Picture
Solidaritas warga terhadap pekerja Brukman yang pabrik swakelolanya tengah akan diakuisisi negara dan pemilik perusahaan sebelumnya
Upaya yang pertama mencoba untuk mengakhiri hal ini dengan penghapusan majikan-majikan bisnis dari proses produksi, dan meletakkan kepemilikan dan kendali produksi di tangan para pekerja. Dalam skema pengelolaan produksi secara rasional dan demokratis di tangan pekerja ini, setiap titik-titik produksi akan disatukan dalam dewan-dewan pekerja, setiap dewan-dewan pekerja akan terhubung lewat federasi-federasi dan konfederasi-konfederasi pekerja dari tingkat yang paling sempit seperti kampung sampai tingkat yang paling luas seperti konfederasi internasional. Federasi-federasi dan konfederasi ini akan saling berkoordinasi, membahas, mengevaluasi, mengarahkan, dan memutuskan keputusan-keputusan produksi secara demokratis dan rasional, bukan berdasarkan motif perburuan nilai tukar yang irasional, melainkan nilai guna dan kebutuhan mendasar dan pengembangan kapasitas manusia yang meletakkan kepentingan manusia tidak lebih tinggi dari alam. Dalam skema ini, akumulasi kekayaan material sudah tidak lagi menjadi kekuatan pendorong dan orientasi produksi manusia. Ia telah ditinggalkan sebagai sejarah usang yang pernah memberhalakan akumulasi kekayaan material sebagai pencapaian manusia.

Skema swakelola alat produksi di tangan pekerja ini bukan hanya abstraksi yang muluk-muluk di atas langit. Sudah banyak praktik-praktik yang diupayakan di berbagai belahan bumi di masa lalu hingga masa kini. Yang paling baru, proses-proses pendudukan dan swakelola telah dan terus terjadi mulai dari Yunani saat masa krisis pada tahun 2013 hingga gerakan pemulihan pabrik yang merebak di Amerika Selatan.

Di Indonesia sendiri, sudah ada prakarsa-prakarsa yang berupaya menghubungkan rantai produksi antara sesama kelas pekerja. Salah satu contoh yang relevan, misalnya, adalah Serikat Pejuang Tani Indramayu Barat yang membentuk Baratha atau dewan-dewan petani sebagai bentuk kontrol kolektif organisasi taninya. Selain itu, mereka juga berupaya untuk memasok hasil produksi pertaniannya langsung ke serikat-serikat buruh di Bekasi untuk memangkas penghisapan tengkulak sekaligus menjalin solidaritas ekonomi-politik dengan buruh.

Epilog: Fragmen-fragmen Ruang Seni Alternatif di Sekitar Saya

Saya mengenal Sundari belum lama ini di suatu acara di desanya Glagah, Temon, Kulon Progo. Pertama kali melihatnya, dia tengah berdiri di tengah Jl. Raya Daendels, membacakan pernyataan sikap penolakan proyek Bandara Internasional bersama sesama  di desanya. Sudah hampir empat tahun belakangan, warga di desanya dan 4 desa lainnya Palihan, Sindutan, Jangkaran dan Kebon Rejo, sulit tidur nyenyak akibat negara ngotot membangun bandara internasional di kampung halamannya. Sundari adalah petani cabai, palawija, melon dan semangka sehari-hari. Sundari adalah seniman juga. Dari cerita sesama warga, Sundari pintar dan aktif dalam kesenian di desanya, mulai dari Ketoprak sampai Karawitan. Namanya sudah dikenal di antara warga desanya dan desa tetangganya. Bahkan, kecintaannya pada seni ini menular pada anak laki-lakinya yang kecil yang kerap memainkan gendang dengan lihainya di pangung-panggung hajatan warga.

Empat tahun terakhir pula Sundari tak pernah absen mengisi acara kesenian di panggung-panggung Wahana Tri Tunggal – organisasi induk warga di Temon yang sampai hari ini menolak pembangunan Bandara di wilayah mereka tanpa syarat. Dalam tiap pentasnya, ada motif dan proses yang berbeda dari ruang-ruang seni transaksional. Sundari tak mengharapkan dan tak mencari bayaran dari penonton karena ia sudah dihidupi dari tanah dan masyarakat tempat ia tinggal. Setiap laku keseniannya adalah cerminan koeksistensi antara hidupnya sebagai individu dengan tanah dan masyarakatnya sebagai satu-kesatuan sosial ekologis. Maka dari itu, menerima gelontoran dana dari industri transportasi seperti PT. Angkasa Pura, misalnya karena Angkasa Pura punya uang banyak untuk penyewaan alat, tata lampu, sewa tempat, fee panitia, atau promosi acara dan promoso dirinya sebagai seniman global ke media-media besar menjadi hal yang tidak hanya tak terbayangkan dalam kepalanya, tapi juga berlawanan dengan jati dirinya sebagai petani sekaligus seniman yang dihidupi oleh sistem sosial ekologis di tempatnya yang terancam hancur oleh bandara.

Model-model seniman berikut ruang kesenian yang serupa juga muncul di tempat-tempat lainnya. Di Jogja sendiri, sependek pengetahuan saya, hanya beberapa kilo dari Temon, ada teater Unduk Gurun milik petani-petani Paguyuban Petani Lahan Pantai yang juga hidup dari tanah pertaniannya yang subur dan dari semangat perlawanan terhadap industri ekstraktif milik keluarga Keraton, PT. Jogja Magasa Iron – sebuah perusahaan tambang pasir besi multinasional yang sudah sekitar 10 tahun ini berambisi menggusur petani-petani Kulon Progo dari tanahnya demi tambang pasir besi. Lakon-lakon yang kerap dimainkan berkisah seputar kehidupan petani pesisir dan perjuangan mereka untuk bertahan dari gempuran tambang pasir besi. Model pendanaannya juga serupa, yaitu dari, oleh, dan untuk warga sendiri.
Picture
Kelompok teater "Unduk Gurun" milik PPLP Kulon Progo
Beralih ke selatan, ada kelompok seniman Karawitan di Parangkusumo, namanya Sri Gending. Ia lahir juga dari organisasi warga yang tengah menolak penggusuran oleh industri wisata di pesisir Bantul, yaitu Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran. Tembang-tembang dan lirik gubahan para senimannya juga banyak berkisah tentang kehidupan mereka sebagai rakyat biasa dan kritik terhadap kekuasaan di Jogja. Indahnya, kesamaan model ruang seni, konflik ruang hidup dan solidaritas mereka juga terwujud di antara penikmat-pelaku karya seni mereka satu sama lain: saya sesekali mendengar lagu gubahan seniman Parangkusumo dinyanyikan oleh petani Temon.

Saya sering mendengar dan yakin pasti ada model-model seniman dan ruang seni serupa di tempat-tempat lain, khususnya, di wilayah-wilayah hulu industri ekstraktif. Saya yakin, ruang hidup yang tengah berjuang antara hidup dan mati di hadapan gempuran kapitalisme industrial pasti melahirkan kesenian yang hidup dan bertahan dari, oleh, dan untuk ruang hidupnya pula.

Di kota Jogja sendiri, saya mengalami proses dan ruang seni yang berbeda dengan proses yang ditawarkan dalam ruang seni transaksional. Saya dan sejumlah kawan dan kenalan pernah mengadakan gig-gig kecil sastra dan kesenian yang dihadiri paling banyak 20-30 orang, di rumah-rumah kolektif, atau di sudut-sudut ruang publik seperti kampus, sudut jalan, atau perpustakaan jalanan. Acaranya didanai lewat patungan atau kas bersama. Semua yang berpartisipasi menyumbang sesuai kemampuannya dan kebutuhannya. Dalam ruang ini, semua partisipan punya kebebasan untuk tampil dan/atau menyaksikan, memuji, berkomentar, atau mengkritik. Seringkali juga, penampilannya lintas-disiplin. Ada yang tiba-tiba membacakan puisi, musikalisasi puisi, ada yang mempresentasikan lukisannya, membaca cerpen dan lainnya. Yang indah dan mengembangkan kapasitas setiap partisipan adalah ada sesi kritiknya, tempat satu sama lain bisa mengajukan komentar dan kritik dari perspektif apa pun: dari impresionis hingga otobiografis, dari analisis kelas sampai psikoanalisis.
Picture
Kelompok karawitan "Sri Gending" milik ARMP Parangkusumo
Seorang kawan, buruh pabrik di Bekasi, bercerita pada saya bahwa di sela-sela kesibukannya mencari nafkah, atau selepas jam kerja, atau di akhir pekan, dia juga melakoni proses keseniannya baik secara kolektif maupun secara individu. Karena ia penggemar metal, dan kawan satu shift pabriknya juga banyak yang menyukai metal, mereka menggelar ruang-ruang musik kolektif yang dananya mereka dapatkan dari patungan sendiri dan dari para anggota komunitas yang hadir. Tak ada imajinasi-imajinasi dari mereka untuk mendirikan panggung-panggung megah lewat sponsor-sponsor perusahaan di Bekasi. Alasannya, seringkali mereka sudah punya momok di kepala tentang kejinya perlakuan perusahaan pada buruh – upah ditunda, lembur tak dibayar, PHK seenaknya, cuti haid & hamil dilarang, demo dipukuli dan dibui. Jadi membayangkan uang perusahaan yang diperoleh dari darah dan air mata buruh saja sudah membuat mereka merinding. Orientasi mereka adalah bagaimana mereka bisa menciptakan ruang hiburan, pelampiasan, aktualisasi, dan refleksi atas hidupnya sendiri lewat musik yang mereka sukai. Orientasi mereka adalah menjalin keguyuban dan solidaritas antar buruh sendiri karena setiap orang sudah selalu sendiri dan terasing saat bekerja di dalam pabrik.

Kalau mau dibandingkan, ada proses kesenian yang mirip dari sejumlah fragmen kesenian di sekitar saya di atas yang berbeda dengan ruang seni transaksional.

Misalnya, pertama, adalah demokratisasi proses seni. Proses ini mampu membuka akses bagi semua orang untuk dapat menjadi pencipta (seniman) sekaligus pengapresiasi seni itu sendiri. Rata-rata partisipan gig seni & sastra yang kami lakoni percaya bahwa seni haruslah dapat diakses, dilakoni, dan dihayati oleh sebanyak mungkin orang, bukan sebagai penonton semata, tapi sebagai pencipta. Demokratisasi proses ini lebih lanjut juga memberi daya bagi para partisipannya—tak meninggalkannya menjadi pentonton atau konsumen yang pasif. Ia meleburkan kategori-kategori antara seniman dan audiens, pencipta dan penonton, karena setiap orang bisa jadi keduanya. Dampak yang sampai sekarang masih saya curigai, saya rasa model demokratisasi proses kesenian ini menghilangkan budaya Fandom (penggemar-isme) yang mewabah dalam industri kesenian karena dalam industri kesenian yang aksesnya serba terbatas dan elitis, sang seniman tampak begitu hebat dengan penonton yang tampak tak berdaya (ini bukan berarti sesama pencipta karya seni tak boleh kagum lho!).

Kedua, pendanaan swadaya atas ruang seni. Hal kedua ini memungkinkan ruang yang relatif bebas dari proses transaksional yang mau tak mau harus patuh pada pendisiplinan-pendisiplinan hukum pasar kalau mau jualannya laku. Pelaku ruang seni alternatif di atas percaya bahwa kalau pada akhirnya ruang seni menjadi tempat membesarnya sirkulasi kapital, entah apa pun niatnya, yang dampak praktisnya adalah orang jadi keluar uang banyak, hidup makin susah, makin banyak pikiran, pontang-panting cari sponsor atau donatur yang punya agenda tersendiri, bahkan sampai mengorbankan keleluasaan menentukan arah, bahkan mengancam dan menghancurkan ruang hidup sendiri), maka ruang seni tersebut harus dibatalkan. Ruang seni ini tidak bertanggung jawab kepada siapa pun (konsumen, atau pada donaturnya yang punya syarat dan ketentuan tertentu misalnya) kecuali pada setiap partisipan yang menghidupinya.
Picture
Demonstrasi di depan Jogja National Museum, menolak sponsor Freeport
Konsekuensinya, ruang seni alternatif ini sudah tidak lagi berangkat dari narasi-narasi besar yang seringkali jadi motif pendorong sekaligus justifikasi ruang-ruang seni transaksional. Misalnya, ia tidak lagi berangkat dari narasi-narasi besar developmentalis seperti komentar Agung Kurniawan tentang dasar keberadaan ArtJog: “ruang kesenian seperti Artjog turut menyumbang pendapatan daerah Jogja” – yang terdengar mirip sekali dengan narasi Pemda Jogja saat mencoba melegitimasi kehadiran tambang pasir besi, bandara internasional, pelabuhan, industri pariwisata dan proyek-proyek ekspansi kapital lainnya.

Sekali lagi, bagi saya, bangkitnya ketidaksetujuan sebagian publik terhadap ruang-ruang kesenian yang terkomodifikasi dan hidup dari pendanaan korporat, kemuakan sebagian publik terhadap ruang-ruang seni transaksional, adalah respons yang positif yang menunjukkan adanya barisan yang menginginkan alternative dan bagaimana ia melakukan resistensi terhadap ruang seni di pusat kekuasaan. Namun, kalaupun pada akhirnya ruang kesenian transaksional seperti ArtJog masa bodoh dengan resistensi tersebut, yang lebih penting sekarang adalah bagaimana kita yang menginginkan alternatif memaksimalkan energi untuk mendukung dan menciptakan ruang-ruang seni non-tranksasional milik kita masing-masing dan satu sama lain. Saya telah merasakan dan melihat sendiri bahwa ruang-ruang seni alternatif yang mampu menghasilkan proses yang berbeda dan menguatkan para partisipannya muncul bukan dari lingkaran-lingkaran mapan yang bertahun-tahun hidup dari status quo – dari korporasi, dari pemerintah, dari patron atau orang-orang kuat – tapi dari semangat, relasi antar partisipan, proses, orientasi dan tolok ukur pencapaian yang sama sekali baru dan berbeda. Jangan sampai ada ilusi yang melemahkan kita sendiri: mengharap ruang seni non-transaksional pada para pedagang di pasar.
6 Comments
Giyanto S
6/17/2016 08:47:17 am

Dhuowooo tulisanmu samm.. Tapi njeroo. Suwun infone.

Reply
Nanang
6/17/2016 08:48:23 am

Hmmmmmmm. Tak merenung dulu.

Reply
Yulie
6/17/2016 08:49:26 am

Rumit ya jebul masalahnya. Hahaha. :D

Reply
Kresna
6/17/2016 08:50:34 am

ATMku ya isih mandiri. Piye jal??

Reply
Mh
6/17/2016 07:31:48 pm

"bahwa ruang-ruang seni alternatif yang mampu menghasilkan proses yang berbeda (dan karenanya relasi sosial dan 'dunia' yang berbeda pula!) serta menguatkan para partisipannya muncul bukan dari lingkaran-lingkaran mapan yang telah lama hidup dari status quo – dari korporasi, dari pemerintah, dari patron atau orang-orang kuat – tapi dari semangat, relasi antar partisipan, proses, orientasi dan tolok ukur pencapaian yang sama sekali baru dan berbeda."

Setujuu!!

Reply
Jenni
6/19/2016 12:09:59 pm

Dari sekian tulisan soal ArtJog, baru nemu dasar pemikiran yg lengkap n bahas soal ginian scr makro. Yg laen2 pd bleber-bleber n ga fokus. Tengs mas.

Reply

Your comment will be posted after it is approved.


Leave a Reply.

    arsip

    May 2022
    August 2021
    March 2020
    August 2019
    December 2018
    November 2018
    April 2018
    December 2016
    October 2016
    June 2016
    February 2016
    December 2015
    January 2014

    kategori

    All
    Catatan Perjalanan
    Kisah
    Panggung
    Tentang Kawan
    Wacana

    RSS Feed


Powered by Create your own unique website with customizable templates.