Yab Sarpote
  • Home
  • ANATOMI SUNYI
  • Contact & Subscription
  • MEMOAR

catatan-catatan kami dalam pernikahan beda agama - #1

5/21/2022

0 Comments

 
Picture
Tulisan ini adalah catatan-catatan tentang pengalaman kami dalam pernikahan beda agama. Tiap hal yang kami anggap menarik akan kami tuliskan, kapan pun kami sempat, mungkin sampai kami mati.

Saya merupakan seorang laki-laki Katolik dan istri saya Muslim. Kami berdua tinggal di Indonesia. Di negara ini, seperti di banyak negara lain, seringkali hal berikut jadi persoalan: kami saling mencintai.

Namun, buat kami, agama bukanlah persoalan. Kasih selalu merupakan dasar pertama dan utama sebelum apa pun lainnya. Kasih merupakan rasa atau nilai universal yang dipunyai tidak hanya oleh manusia, tetapi juga sebagian makhluk berakal budi di bumi ini. 

Saya menganggap kasih atau cinta punya usia yang lebih purba, bahkan ketimbang agama-agama terorganisasi (organized religion) yang muncul di bumi ini, termasuk agama-agama Adam yang diwariskan kepada kami berdua. 

Seekor dinosaurus yang melindungi telur atau anaknya dari serangan predator lain tentu mendasarkan perilaku protektif tersebut pada cintanya kepada keturunannya, selain pada fakta bahwa proteksi adalah manifestasi insting bertahan hidup dan memperbanyak diri suatu spesies—insting asali makhluk hidup. 

Kita tahu, dinosaurus hidup antara 66-245 juta tahun yang lalu, Abraham ben Terah lahir sekitar 4172 tahun lalu (2150 BCE), sementara Adam dan Hawa diperkirakan lahir antara 120.000 hingga 156.000 tahun lalu, atau lahir saat Kitab Kejadian dituturkan lalu dituliskan?

Pada akhirnya, kami tiba pada sebuah pertanyaan: apakah kami ingin melihat perbedaan kami sebagai sebuah aib atau keindahan? Sebagai sebuah keseragaman atau keberagaman?

Namun, bagaimanapun kami mencari-cari jalan buntu atas pertanyaan itu, persoalan atas jawaban pertanyaan itu, argumentasi, ketakutan, ancaman, potensi konflik, dan pemisah yang mungkin muncul dari perbedaan kami tersebut, kami tetap tiba di sebuah dermaga yang sama. Demikianlah kami memutuskan untuk mengarungi lautan dengan kapal yang kami punya, tempat agama tidak dipaksakan kepada satu sama lain.

Butuh waktu untuk menyampaikan niat kami ini kepada orang tua kami. Butuh waktu untuk membuat orang tua kami memahami cara kami berpikir dan nilai-nilai yang ingin kami bawa ke dalam kehidupan pernikahan kami. Butuh waktu pula untuk membuat orang tua kami menyadari ada kebenaran-kebenaran lain di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan menghapus dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda. 

Dengan tekad dan kesabaran yang kami punya, akhirnya orang tua kami merestui pernikahan kami dengan dua cara, yaitu cara Islam dan cara Katolik, untuk menunjukkan bahwa tidak ada keyakinan yang ditiadakan, dan tidak ada keyakinan yang dipaksakan. Ini juga tanda bahwa setiap pilihan identitas dihargai dan dilindungi. Lebih lanjut, pernikahan kami turut disahkan oleh negara dalam sebuah Akta Pernikahan tanpa ada hambatan apa pun yang berarti.

(Soal landasan teologis tiap agama, teknis dan prosedur pernikahan dalam institusi keagamaan dan institusi negara, saya tidak akan membahasnya saat ini. Mungkin akan ada bagian khusus untuk menceritakan bagian tersebut kelak).

***

Seperti cara kami memandang suku, ras, latar belakang, etnis, dan label sosial lain dalam cara manusia mengkategorikan dirinya, agama bukanlah hal yang seharusnya mencerai-beraikan manusia, melainkan menyelaraskan dan menjadi salah satu obat atas berlarut-larutnya perpecahan spesies homo sapiens akibat berbagai konflik horizontal.

Setiap agama tentu saja memiliki kecenderungan untuk melestarikan dan memperbesar kekuatan dirinya sendiri, misalnya lewat penyebaran agama lewat berbagai cara, pewarisan agama orang tua kepada anak, dan larangan pernikahan beda agama. Kami berdua termasuk generasi yang merupakan pewaris agama orang tua-orang tua kami. Agama diturunkan secara otomatis, bukan direnungkan atau dipelajari terlebih dahulu lalu dipilih (atau tidak dipilih semuanya). 

Hal ini tentu sangat lazim dan masuk akal dilakukan bagi sebuah sistem kebenaran absolut dan tunggal seperti agama yang tentu punya seperangkat doktrin. Jika hanya dirinyalah jalan kebenaran, semua yang lain otomatis salah. Pada saat bersamaan, setiap agama mengklaim dirinyalah satu-satunya yang paling benar. Hal serupa sebetulnya berlaku bagi sistem kebenaran absolut dan tunggal lainnya, misalnya sebagian besar sistem identifikasi kewarganegaraan atau keanggotaan partai politik. Bisa bayangkan Megawati jadi ketua PDI-P sekaligus PPP? Kami sih bisa-bisa saja, tetapi sepertinya anggota fanatik masing-masing kubu partai politik tidak.

Kami adalah jenis manusia yang melihat diri kami sebagai anak kecil yang belum mengamini doktrin agama atau pun label-label segregasi sosial hingga habis. Anak kecil yang seperti ini menilai dan memperlakukan manusia lain dari cara manusia tersebut berperilaku, manusia sebagai manusia, tanpa label-label horizontal yang dilekatkan oleh sistem sosial kepadanya. 

Keponakan saya, misalnya, jauh lebih bucin dan dekat dengan istri saya daripada saya karena memang istri saya begitu ramah dan dekat dengan anak-anak kecil. Istri saya senang sekali menggunakan waktu istirahatnya selepas kerja untuk bermain dengan keponakan saya selama berjam-jam. Istri saya jauh lebih penuh kasih kepada anak kecil, ketimbang saya. Sementara itu, saya sendiri cenderung lebih dingin dan rasional kepada anak kecil. Kalau suasana hati saya sedang pas atau waktu saya sedang luang, saya mungkin menggunakan waktu tersebut untuk menanggapi polah anak-anak yang sulit saya pahami. Kalau saya sedang sibuk atau suasana hati saya sedang tidak pas, ya tidak.

Jadi, sekalipun saya adalah pamannya yang secara sosial beragama Katolik, agama serupa yang diwariskan kepadanya, keponakan saya tidak peduli. Hal yang dia pedulikan adalah bahwa istri saya jauh lebih penuh kasih kepadanya ketimbang saya. Jadi, fakta bahwa saya sering menyebalkan merupakan hal yang menentukan, ketimbang bagaimana cara saya berdoa. 

Menurut kami, ini merupakan cara pandang yang asali, jujur, dan apa adanya. Cara pandang inilah yang kami gunakan dalam memandang diri kami satu-sama lain dan menyikapi perbedaan label yang disematkan sistem sosial kepada kami.

Soal surga dan neraka, sebagaimana halnya soal “yang benar” dan “yang salah”, kami hanya bisa mempunyai pandangan. Sementara itu, kalau sudah terkait dengan hal transendental, hal yang tidak bisa diketahui ada atau tidaknya kecuali dengan "percaya", paling jauh ya kami hanya bisa percaya. Everyone is free to believe in anything, anyway. Everyone is free to believe in whatever they want to believe. 

Namun, siapa juga yang sudah pernah mati, pergi ke akhirat, lalu kembali hidup lagi dan memberikan kesaksian soal “yang benar” dan “salah”? Siapa yang bisa memastikan bahwa kami akan dibakar dalam kerak neraka paling panas hanya karena kami saling mencintai dan lelah dengan sekat-sekat yang terlanjur berkerak jauh sebelum kami lahir? Paling ya cerita-cerita soal hal tersebut, dan setiap agama lagi-lagi punya klaimnya sendiri soal hidup setelah kematian. 

Everyone is gambling, after all. And no breathing human knows what the dice will show when it stops rolling. Kami hanya tipe manusia yang tidak ingin ribut dan bertengkar (atau saling bunuh, sesuai catatan sejarah) di dunia ini gara-gara perjudian spiritual yang akan manusia ketahui jawabannya setelah tidak lagi di dunia ini (itupun kalau memang ada hidup setelah kematian seperti yang dibayangkan agama-agama Adam). Selain itu, tentu saja kami bukanlah tipe manusia yang senang melaknati diri kami sendiri akibat jatuh cinta pada manusia lain yang diwarisi agama berbeda.

Seperti halnya ada sebagian orang yang percaya bahwa cinta kami adalah aib, kami memilih untuk percaya bahwa cinta kami dapat mengatasi segala sesuatu, termasuk label-label sosial yang sudah ada sebelum kami lahir. Kami percaya bahwa cinta akan meluruhkan hati yang marah, membuka mata yang buta karena keseragaman, dan menjadi pengingat bahwa selalu ada kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini. Kalau hal ini bukanlah surga, saya sulit membayangkan surga seperti apa yang ada di kepala orang-orang beragama?

***

Pada suatu waktu, setelah sepasaran manten usai—hari pertama istri saya tinggal di rumah keluarga laki-laki setelah pernikahan, saya berbincang dengan ibu saya sementara istri saya beristirahat di kamar. Ibu saya merupakan semacam pemuka agama Katolik yang diberikan otoritas-otoritas khusus untuk mengajarkan agama Katolik dan melakukan pelayanan di gerejanya. Saat saya akan beranjak meninggalkan perbincangan tersebut, ibu saya berpesan kepada saya:

“Keran di kamar mandi kita itu sudah rusak. Airnya tidak bisa mengalir. Jangan lupa kamu perbaiki, buat istrimu wudu kalau dia akan salat”.

Saya mengangguk, dan tersenyum.
0 Comments

MELAWAN IMPERIUM: KESAKSIAN VETERAN AS ATAS KEMENANGAN TALIBAN DI AFGHANISTAN

8/16/2021

0 Comments

 
Terjemahan oleh Yab Sarpote
Picture
Kecepatan Taliban merebut kembali Afghanistan menjelang ditariknya kekuatan Amerika Serikat menggambarkan betapa rapuhnya hegemoni imperium AS: seberapa besar kekuatan yang dibutuhkan untuk mempertahankannya dan seberapa cepat segalanya bisa berubah ketika kekuatan tersebut ditarik. Peristiwa ini menawarkan pandangan sekilas soal kemungkinan masa depan setelah imperium AS angkat kaki—walaupun bukan masa depan yang menjanjikan. Bagaimana pendudukan AS berdampak pada rakyat Afghanistan? Mengapa Taliban bisa menduduki kembali begitu banyak wilayah dengan begitu cepat? Apa arti dan konsekuensi penarikan kekuatan AS terhadap masa depan dan bagaimana kita bisa mempersiapkannya?

Perang Melawan Teror (War on Terror), layaknya Perang Dingin dahulu, telah memaksa seluruh penduduk untuk memilih dua kutub yang sama-sama tidak diinginkan. Alhasil, sulit untuk membayangkan alternatif pilihan: imperium kapitalis global atau otoritarianisme yang tumbuh di rumah sendiri. Dalam jangka panjang, apa pun janjinya, militerisme kolonial tidak dapat mengendalikan nasionalisme, fasisme, atau fundamentalisme. Militerisme kolonial malah hanya menumbuhkan alasan otoritarianisme dalam negeri untuk merekrut lebih banyak pendukung. Pertanyaannya adalah bagaimana merawat jaringan akar rumput global yang dapat menciptakan alternatif yang nyata.
​

Dalam analisis berikut, seorang bekas prajurit pendudukan AS di Afghanistan membahas kekalahan proyek imperium AS ini—membingkai Taliban, pendudukan, dan konsekuensinya dalam konteks gelombang fasisme dan fundamentalisme di seluruh dunia yang juga mulai berkembang di Amerika Serikat.

Kemenangan Taliban dalam Konteks Global

Saat saya menyusun tulisan ini, Taliban telah menguasai Kabul dan seluruh negara Afghanistan. Presiden Ashraf Ghani yang didukung AS telah melarikan diri ke Tajikistan, sementara anggota Angkatan Darat Afghanistan melarikan diri ke negara-negara tetangga atau menyerah kepada gerilyawan Taliban. Beberapa hari yang lalu, pejabat Intelijen AS memperkirakan setidaknya ada waktu 30 hari sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, saat Presiden Biden mengerahkan 5.000 tentara AS untuk melindungi evakuasi kedutaan dan personel AS. Sekarang Departemen Luar Negeri mendesak warga AS yang tersisa untuk berlindung di tempat, tidak lari ke Bandara Kabul untuk evakuasi darurat. Saat asap dari pembakaran dokumen rahasia dan tembakan memenuhi cakrawala Kabul, pikiran kita berkelana ke momen pada masa lampau: jatuhnya Saigon ke Tentara Vietnam Utara dan Front Pembebasan Nasional.

Saya tidak bisa merayakan kemenangan Taliban. Walaupun Taliban memerangi penjajahan kapitalis dan imperialis, mereka mewakili yang terburuk dari fundamentalisme, patriarki, dan hierarki agama. Namun, sangat mengejutkan melihat tirai ditutup dengan begitu tragis. Robohlah mitos eksepsionalisme bahwa militer Amerika sungguh istimewa. Dua puluh tahun sia-sia: uang, masa muda, dan darah.

Saya seorang veteran pendudukan Afghanistan. Semua yang akan saya ceritakan berasal dari pengalaman langsung saya selama melayani imperium AS sebagai prajurit selama sepuluh tahun.

Saya bergabung sebagai prajurit karena semua motivasi yang lazim ada di iklan rekrutmen. Sebagai seorang analis intelijen dan bintara, saya pernah mengatur dan memimpin tim, regu, dan unit tentara. Berdasarkan pengalaman saya dalam pengawasan dan pengintaian udara, saya direkrut untuk bergabung dengan perusahaan kontraktor pertahanan. Perusahaan pertahanan tempat saya bekerja meliputi L3, Boeing, dan Lockheed Martin. Saya melatih unit di AS dan Afghanistan selama lebih dari tiga tahun dan dikerahkan ke Afghanistan tiga kali untuk perusahaan-perusahaan tersebut. Saya juga dikirimkan ke Afghanistan sebagai bagian dari tim operasi untuk unit yang mengelola salah satu pangkalan terbesar di Afghanistan selatan.

Berdasarkan hal yang saya saksikan, operasi kontra-terorisme AS utamanya dilakukan untuk menciptakan pasar bagi teknologi dan produk militer AS dan mengamankan sumber daya untuk imperium AS. Selama 20 tahun, kami menopang penguasa-penguasa perang lokal dan regional, memberi mereka senjata dan uang agar mereka tidak menyerang pasukan kami. Kami memberi kewenangan pasukan-pasukan maut mereka dan menamainya Polisi Lokal Afghanistan (ALP). Selama bekerja di tingkat eselon senior, saya menyaksikan perwira berpangkat dan prajurit junior berebut untuk memenuhi resume mereka supaya bisa jadi tentara bayaran untuk perusahaan dan agensi yang benar-benar mendalangi semua pertunjukan ini. Para jenderal membangun karier dan kemudian dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut atau oleh Departemen Pertahanan/Komunitas Intelijen. Dari Suriah dan Irak ke Yaman dan di seluruh Afrika, di seluruh 800 pangkalan militer kami, tak pernah saya temukan satu misi militer pun yang terutama berfokus untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas.

Sudah terlalu lama saya berpartisipasi dalam semua pertunjukan ini—dan saya ingin bertanggung jawab, meskipun saya tahu tak ada jalan untuk benar-benar menebus kesalahan saya.

Tewasnya salah seorang prajurit saya membuat saya sadar. Setelah itu, saya mulai menderita efek CPTSD [Complex Post-Traumatic Stress Disorder]. Ciri-cirinya klasik: mabuk-mabukan dan mengonsumsi narkoba, putus hubungan, depresi, kecenderungan bunuh diri. Saya juga mulai mencari bantuan pada saat itu. Saya bergabung dengan Iraq Veterans Against the War (Veteran Irak Menolak Perang) dan berkenalan dengan para prajurit aktif dan mantan prajurit yang memerangi imperialisme AS. Dengan informasi dari GI Rights Hotline, saya dapat keluar dari Tentara Cadangan Angkatan Darat. Saya memulai proses politisasi yang di dalamnya saya belajar tentang militerisme, imperialisme, kolonialisme, dan supremasi kulit putih.

Bahwa kini pendudukan telah berakhir, seluruh generasi veteran militer AS akan dibuat bertanya: apa gunanya pendudukan tersebut. Yang bisa saya lakukan adalah bertanya mengapa begitu lama mereka sadar dan baru mempertanyakan hal tersebut sekarang. Padahal realita tersebut selalu ada di sekitar kami.
Picture
Ini adalah para tetua dari distrik Panjwai di provinsi Helmand—distrik tempat pembantaian Kandahar terjadi. Bocah laki-laki di foto ini datang bersama ayahnya untuk mengajukan tuntutan terhadap AS karena menggunakan pertanian mereka untuk membangun pangkalan. Mereka melakukan perjalanan setiap minggu selama berbulan-bulan—mereka kehilangan sumur, kebun, dan mata pencaharian. Pangkalan kami adalah satu-satunya di seluruh Afghanistan selatan yang mengizinkan hal yang kami sebut "klaim asing," permintaan kompensasi atas nyawa, tanah, atau properti yang dihancurkan oleh AS. Bocah tersebut pasti berusia pertengahan remaja sekarang. Setiap pewaris pendudukan AS harus memahami arti bertindak dalam solidaritas nyata dengan orang-orang yang mengalami dampak pendudukan.

Selama saya di Afghanistan, kami tidak pernah menguasai wilayah di luar pangkalan dan pos terdepan kami—dan kami sering menemukan musuh di dalam tembok kami sendiri. Taliban menjalankan kontra-insurgensi yang sukses selama dua puluh tahun. Mereka memelihara pemerintahan bayangan, menarik pajak, menyelesaikan perselisihan sosial, budaya, dan ekonomi, dan melakukan manuver dan merebut wilayah. Mereka selalu menunggu kesempatan tiba.

Mengapa Taliban dapat menanti pendudukan berakhir dan merebut kembali kekuasaan dengan begitu mudah?

Taliban diuntungkan dari struktur suku dan etnis Afghanistan, jaringan kompleks loyalitas dan ikatan sosial, dan budaya yang tidak pernah sepenuhnya dapat dipahami oleh pasukan AS/NATO. Afghanistan, seperti negara-bangsa lain dari bekas Kerajaan Inggris, diciptakan tanpa mempertimbangkan demografi etnis dan agama. Hasilnya adalah populasi yang terdiri dari Pashtus, Tajik, Hazara, Uzbek, Aimak, Turkman, dan Baloch—kelompok dengan berbagai budaya dan praktik. Sebagian kelompok mudah bersekutu dengan NATO, sementara yang lain menentang dengan tegas.
​

Taliban hampir seluruhnya merupakan Pashtu—kelompok etnis dominan di Afghanistan, yang menempati 40 hingga 50% populasi. Orang-orang Pashtu hidup di kedua sisi perbatasan Afghanistan dengan Pakistan dan di sepanjang bagian selatan negara tersebut. Koneksi sosial dan tradisi mereka melampaui batas-batas kolonial negara tersebut, membuatnya mudah bagi mereka untuk berpindah-pindah tempat yang aman di Pakistan, mengeksploitasi celah dalam kendali militer NATO.

Soal banyak momen yang menggambarkan betapa tidak bergunanya perang tersebut, saya ingat waktu saya di Kandahar Airfield, sebuah pangkalan yang menampung setidaknya 22.000 tentara, kontraktor, dan warga sipil. Di sana, saya mengetahui bahwa Komandan Distrik Bayangan Taliban adalah saudara ipar jenderal Angkatan Udara Afghanistan yang sedang menjabat. Mengingat pentingnya hubungan suku dan keluarga dalam budaya Pashtu, jelas bahwa kesetiaan sang jenderal kepada pemerintah yang didukung NATO tidak akan pernah lebih penting ketimbang hubungan suku dan keluarga tersebut. Hubungan antara kedua panglima perang tersebut, bahkan jika mereka secara resmi dianggap sebagai kombatan musuh, memastikan bahwa mereka berdua tidak akan berperang satu sama lain. Saya mengalami interkoneksi semacam ini dengan pihak yang harusnya jadi musuh, mulai dari interaksi saya dengan warga biasa hingga Presiden Afghanistan Hamid Karzai yang saat itu menjabat.

Taliban juga memenuhi kebutuhan masyarakat. Legitimasi Taliban berakar pada kemampuan mereka untuk memberikan perlindungan dan bimbingan agama. Hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun sebelum invasi AS. Para ulama Taliban menyelesaikan perselisihan sosial, budaya, dan ekonomi di wilayah yang mereka kuasai. Mereka menarik pajak dan mengontrol pertanian selama perang. Mereka juga melakukan aksi kekerasan ekstrem yang membuat mereka dapat mengontrol wilayah yang tidak mereka kuasai sebelum perang.

Pendudukan AS gagal meredakan perlawanan Taliban selama dua puluh tahun karena mayoritas penduduk tidak pernah menganggap pasukan yang menduduki negara mereka adalah kekuatan yang sah. Bom dan peluru saja tidak mampu memenangkan hati penduduk. Sebaliknya, pemerintah dan militer yang didukung AS benar-benar mementingkan diri sendiri dan korup. Karena didorong terutama oleh keuntungan pribadi, pasukan NATO bertempur demi metrik saja — mereka lebih peduli jumlah proyek, korban jiwa, uang yang dihabiskan atau uang yang dihemat. Dengan menghabiskan waktu di negara tersebut dengan rotasi tugas jangka pendek, mereka tidak pernah mampu membangun kepercayaan atau rasa hormat dari penduduk negeri tersebut. Unit-unit dan orang-orang baru terus muncul tanpa tahu di mana mereka berada atau apa yang telah dilakukan sebelumnya. Kurangnya rasa hormat dari penduduk ini sangat penting bagi insurgensi yang terjadi sehingga selama pengerahan pasukan tahun 2012, serangan orang dalam (serangan oleh Pasukan Pemerintah Afghanistan terhadap Pasukan NATO) mewakili lebih dari 14% dari total korban jiwa.

Pada akhirnya, Taliban mampu mengambil kendali karena mereka mengerti bahwa hal yang penting untuk memenangkan perjuangan melawan pendudukan kolonial adalah bahwa mereka harus bertahan dalam perang panjang yang melelahkan. Selama dua puluh tahun, dengan menunjukkan ketidakefektifan pemerintahan korup yang didukung NATO, mereka mempertahankan sistem kontrol normatif dan hierarkis yang telah mereka buat sebelum invasi AS.

Namun, fundamentalisme Taliban bukanlah hal penting bagi keberhasilan mereka. Imperium AS runtuh dari dalam: penarikan kekuatan AS dari Afghanistan adalah bagian dari proses yang lebih besar tempat pengaruh geopolitik AS terkikis di seluruh dunia. Negara Tiongkok dapat memperoleh kekuasaan di wilayah tersebut; kita mungkin melihat meningkatnya perebutan kekuasaan antara India dan Pakistan. Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi selanjutnya—di Afghanistan dan di seluruh dunia.
Picture

Saat ini dalam sejarah, di jantung imperium AS, saya melihat peningkatan gerakan konservatif yang membawa banyak ide dan kebijakan yang mencerminkan fundamentalisme, patriarki, dan hierarki yang sama yang menjadi ciri Taliban. Pandangan sayap kanan tentang tubuh perempuan, komunitas LGBTQIA+, migran, dan siapa pun yang dianggap orang luar sejalan dengan pandangan dunia penuh kekerasan yang dibenarkan oleh ajaran agama Taliban.

Di AS, kelompok sayap kanan otoriter menyebarkan mitos rasa malu di kalangan laki-laki Amerika—mitologi tentang tersingkirkannya ras kulit putih oleh ras berwarna, feminisasi, kekalahan, hilangnya kontrol dan kekuasaan. Kelompok ini telah mengembangkan mitologi ini selama bertahun-tahun, dan kekalahan di Afghanistan hanya akan menyiram bensin ke kobaran api. Kekerasan dan kebencian yang telah kita lihat di jalan-jalan selama bertahun-tahun mobilisasi fasis adalah konsekuensi langsung dari sebuah bangsa yang mengelu-elukan kebohongan soal kekalahan perang. “Patriots” dan Proud Boys yang mengenakan emblem Pasukan Maut Sayap Kanan tidak jauh berbeda dari pasukan maut fundamentalisme Taliban.

Kaum liberal pun jatuh ke dalam mesin perang imperial yang sama ini. Apa pun gagasan mereka tentang militerisme dan polisi, mereka berbaris berdampingan dengan fasis kanan—dan terlepas dari progresivisme mereka, mereka tidak melakukan apa pun untuk mewujudkan keamanan yang nyata bagi masyarakat kita. Menarik bahwa dua presiden dari Republikan dan dua presiden dari Demokrat mengepalai perang ini. Satu demi satu pemerintahan-pemerintahan ini telah memperluas kekuasaan eksekutif, sementara anggaran pertahanan dan keamanan kita selama dua dekade terakhir telah membuat masyarakat kita sengsara.

AS telah menghabiskan triliunan dolar untuk senjata. Banyak dari senjata ini akhirnya sampai di tangan Taliban dan ISIS; senjata yang lain telah dibawa pulang dan digunakan untuk menindas masyarakat di Amerika Utara, terutama menindas orang kulit hitam. coklat, dan penduduk pribumi. Kaum proletar yang membakar kantor polisi dan bertempur di jalanan dalam pemberontakan baru-baru ini mendapati diri mereka tengah melawan kekuatan, strategi, taktik, dan pola pikir yang sama yang dikembangkan untuk polisi Afghanistan.

Untuk seluruh satu generasi saat ini, Perang Global Melawan Terorisme yang dimulai di Afghanistan telah dieksploitasi dan dikomodifikasi. Orang-orang yang bahkan tidak pernah berpartisipasi dalam konflik tersebut telah membeli game-game live action role playing untuk melampiaskan mimpi dan budaya perang mereka. Seluruh sektor populasi telah menginternalkan kultus yang berbahaya dari patriotisme dan nasionalisme: tewasnya laki-laki. Sekarang, setelah tirai ditutup, saya menyaksikan hancur-leburnya identitas generasi ini yang dibangun dalam suasana dan partisipasi mereka dalam perang. Kaum liberal dan kaum konservatif pasti akan saling menyalahkan. Sementara itu, proses polarisasi politik meningkat dan kedua belah pihak menyerahkan masa depan mereka kepada label-label otoritarianisme yang beraneka ragam dengan harapan mempertahankan ilusi stabilitas.

Satu-satunya yang dapat kita lihat dari kemenangan Taliban adalah bahwa imperium Amerika adalah setumpuk kartu yang menunggu untuk jatuh berantakan. Imperium ini mampu melakukan kekerasan ekstrem, membunuh dengan teknologi tercanggih yang belum pernah disaksikan manusia. Ia mampu melakukan kekejaman yang ekstrem. Akan tetapi, bagaimanapun juga imperium ini adalah istana pasir, yang tidak mampu menaklukkan hati dan pikiran orang, terlepas dari intensitas intervensi atau lamanya pendudukan.

Turtle Island telah mengobarkan lebih dari 500 tahun perlawanan terhadap pendudukan, dan terlepas dari berapa tahun lagi perlawanan tersebut akan terus berkobar, harus jelas bahwa rakyat juga akan menang. Dampak dari Afghanistan tidak hanya akan menjadi kekalahan rezim boneka yang korup dan tidak diinginkan—tetapi juga akan bergema di banyak wilayah imperium yang runtuh ini selama bertahun-tahun ke depan.

Seluruh generasi orang-orang yang dididik dan terlatih dalam perang akhirnya memetik pelajaran dengan susah payah: partisipasi kita dalam pemerintahan imperialis berdiri di atas kekeliruan. Kami telah mulai menginvestasikan kembali pengetahuan dan pengalaman kami ke dalam komunitas yang berfokus pada pembebasan yang sebenarnya.

Namun, apa yang akan terjadi selanjutnya? Jika kemenangan Taliban di Afghanistan merupakan indikasi, hal yang menggantikan imperium AS mungkin adalah fundamentalisme atau nasionalisme yang menindas. Kita harus bertanya: bagaimana kita bisa melawan tatanan yang berkuasa sedemikian rupa sehingga tidak akan digantikan oleh kekuasaan lain yang setara dengan Taliban.

Musuh-musuh masyarakat kita dan musuh masa depan yang kita inginkan juga telah membawa para veteran pendudukan yang tidak puas dan kecewa ke dalam pelukan mereka. Kemarahan mereka, yang berakar pada rasa malu yang disebutkan di atas, diwujudkan dalam kekerasan ketimbang solidaritas. Mereka telah mencoba kudeta demi visi otoriter mereka. Peristiwa di Afghanistan akan memotivasi mereka lebih jauh. Bisa jadi kita akan menyaksikan mantan tentara, operator pasukan khusus, dan tentara bayaran memobilisasi diri untuk melawan pihak yang mereka anggap musuh dan melakukan tindakan terorisme individual. Itulah yang perlu kita lawan.
Picture
Taliban hanyalah manifestasi lokal atas gelombang otoritarianisme di seluruh dunia.

Perubahan iklim, polarisasi politik, krisis ekonomi, runtuhnya imperium Amerika, dan gejolak sosial yang membara, semuanya hadir di hadapan kita bukan sebagai fenomena perseorangan, tetapi sebagai tantangan tunggal yang terdiri dari bencana yang saling berhubungan. Kita dapat mengambil inspirasi dari kekalahan musuh kita di pemerintahan AS dan belajar dari keberhasilan pihak-pihak yang melawan mereka di mana pun sambil mempertahankan oposisi permanen terhadap segala bentuk penindasan. Hati saya ada pada orang-orang Afghanistan yang saat ini menderita trauma perang selama beberapa generasi. Rakyat Afghanistan adalah rakyat yang memiliki warisan negeri dan penduduk beragam yang telah berulang kali mengalahkan imperium paling kuat dalam sejarah dunia. Saya berharap mereka menemukan kekuatan untuk terus berjalan ke depan dan, pada akhirnya, untuk mencapai pembebasan sejati, keamanan sejati. Saya berharap bahwa kita di sini di AS memahami diri kita sendiri sebagai bagian dari gerakan internasional, menemukan kekuatan untuk melakukan apa pun yang diperlukan di jantung imperium jahat ini untuk membangun dunia baru di atas reruntuhan yang lama.

Sekarang waktunya untuk mendengarkan rakyat Afghanistan, untuk membantu para pengungsi, untuk mendukung organisasi bantuan, dan untuk menentang mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang berlangsung selama dua puluh tahun terakhir ini—untuk membuka hati kita terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan potensi kawan seperjuangan yang baru—untuk mengembangkan keterampilan dan pola pikir yang akan membuat kita tetap aman saat kita melangkah maju ke tempat yang tidak diketahui.

Jika Anda atau anggota keluarga Anda saat ini bertugas di militer AS, silakan hubungi GI Rights Hotline di 1-877-447-4487 atau langsung saja AWOL. Berhentilah melayani front penuh kekerasan yang menguntungkan perusahaan senjata dan pertahanan. Buat apa mati demi kepentingan mereka, dan buat apa membawa derita buat orang-orang malang di dunia seperti yang telah kita lakukan selama dua dekade terakhir kepada orang-orang Afghanistan.

Picture

Terjemahan dari "Afghanistan: The Taliban Victory in a Global Context - An Anti-Imperial Perspective from a Veteran of the US Occupation"
0 Comments

AGRIKULTUR CAPITALIS DAN COVID 19: KOMBINASI MAUT

3/30/2020

1 Comment

 
Coronavirus terbaru mengguncang dunia. Namun, alih-alih memerangi penyebab struktural pandemi ini, dari tahun ke tahun pemerintah malah hanya fokus pada tindakan daruratnya saja.

Untuk konten majalah sosialis Jerman, Marx21, Yaak Pabst berbincang dengan Rob Wallace, penulis Big Farms Make Big Flu (Monthly Review Press, 2016) tentang bahaya Covid-19, tanggung jawab agribisnis dan solusi berkelanjutan untuk memerangi pandemi. Rob Wallace adalah ahli biologi evolusi dan ahli filologi kesehatan masyarakat yang saat ini bekerja di Institute of Global Studies di University of Minnesota. Dia juga menulis blog di Farming Pathogens.

Terjemahan oleh Yab Sarpote
Picture

Read More
1 Comment

lisa dan kacamata kuda di singapura

8/10/2019

0 Comments

 
Picture
Salah seorang penjual lassi di Little India

“Boleh duduk di sini?” tanya seorang laki-laki yang hampir baya. 

“Oh, please,” jawab saya spontan.

Dia lantas duduk di depan saya. Kami berbagi meja. Saya menunggu makan siang pertama di sebuah food court murah-meriah di timur laut Bukit Timah Road, Singapura: nasi briyani dan lassi mangga. Sementara itu, dia mengeluarkan bekal dari dalam kantong plastik kusut: beberapa potong buah, roti dan donat bergula tabur. 

Sesekali saya mencuri pandang. Dia makan perlahan. Matanya menerawang, memandangi jalan raya. Kami seperti dua anak SD yang saling tak kenal pada hari pertama sekolah: sama-sama ragu memulai obrolan. “Dengan bahasa apa saya harus bicara?” pikir saya dalam hati.

“Do you live around here?” tanya saya. Anda tinggal di sekitar sini.

“Ha?” jawabnya bingung. 

Saya mengulangi pertanyaan. 

Dia masih bingung.

“No. Sorry. English not very good,” jawabnya. Maaf, bahasa Inggris saya tidak terlalu baik.

“Oh, sorry,” jawab saya malu. Saya lalu diam karena kikuk. 

“Ada cakap Melayu kah?” lanjut saya, berharap dalam hati semoga dia tak hanya berbahasa Mandarin. 

Read More
0 Comments

Puisi dan petikan hidup seorang buruh Foxconn: Xu Lizhi (1990-2014)

12/27/2018

0 Comments

 
Picture
Foto Xu Lizhi
Terjemahan oleh Yab Sarpote, dengan beberapa penjelasan tambahan. 
Artikel ini berisi terjemahan berbahasa Indonesia atas puisi Xu Lizhi (许 立志), buruh Foxconn yang bunuh diri pada 30 September 2014, pada usia 24 tahun, di Shenzhen, Tiongkok. Teks sumber terjemahan puisi-puisi berikut adalah versi terjemahan bahasa Inggris oleh tim proyek Nao, bukan versi asli bahasa Mandarin penyairnya. Artikel tim proyek Nao ini juga berisi obituari dan beberapa catatan penjelasan. Selain terjemahan atas tulisan tim Nao yang berisi puisi Xu dan rekannya, obituari, dan beberapa penjelasan, saya sendiri juga menambahkan sejumlah pengantar mengenai Foxconn, Tiongkok, dan bagaimana eksploitasi berlangsung di Foxconn, yang mewakili kesengsaraan sejenis yang dialami oleh buruh-buruh pabrik di Tiongkok, dan negara Dunia Ketiga seperti Indonesia.

Read More
0 Comments

LSM-isasi Perlawanan

11/21/2018

0 Comments

 
Picture
Oleh Arundhati Roy
Terjemahan oleh Yab Sarpote


"Bel dan pa di zanmi." ("Orang yang tersenyum padamu bukan berarti dia temanmu.")
​--Peribahasa orang Haiti


LSM-isasi: Istilah ini dibuat pada tahun 2004, walaupun fenomena yang digambarkannya dimulai pada tahun 1980-an sebagai salah satu elemen proyek neoliberal.

Bahaya yang dihadapi gerakan-gerakan massa adalah LSM-isasi perlawanan. Gagasan saya ini dapat mudah dipelintir menjadi sekadar tuduhan terhadap semua LSM. Tentu saja salah. Di tengah maraknya pendirian LSM-LSM palsu untuk menyedot uang hibah atau menghindari pajak (di negara-negara bagian seperi Bihar, uang-uang ini diberikan sebagai mahar), tentu saja ada sejumlah LSM yang melakukan kerja berharga. Namun, kita perlu mengalihkan perhatian dari kerja positif beberapa LSM tertentu, dan memahami fenomena LSM dalam konteks politik yang lebih luas.

Read More
0 Comments

Apakah kita akan mati dalam sepi, seperti mesin?

4/23/2018

0 Comments

 
Picture
Buruh-buruh kebersihan di stasiun Maihama yang sudah berusia lanjut.

“Kinō no yoru wa nanji ni nemashita ka?” tanya saya dengan bahasa Jepang yang compang-camping. Semalam kamu tidur jam berapa?

“Watashi wa, gozen 2-ji ni ne” jawabnya. Jam 2 pagi.

“Shinjirarenai! Anata wa motto nemuru baka desu, Keiichi,” timpal saya. Serius? Kamu harus tidur lebih banyak, Keiichi.

Keiichi tersenyum, lalu meminum 2 cangkir sake. Malam ini dia hampir menghabiskan 1 liter sake sendirian. Dia baru tidur jam 2 pagi hari ini, lalu harus bangun jam 6 pagi untuk bekerja.

“Sudah biasa di Tokyo. Buruh kantoran tidur 4-5 jam hampir setiap hari, apalagi kalau ada acara besar seperti ini,” cerita Keiichi.

Saya menggelengkan kepala.

“Pantas saja banyak buruh kantoran Jepang mati saat bekerja ya?” tanya saya.

“Hai. Di meja kantor, di trotoar, di metro, di stasiun. Sore wa kanashī” jawabnya. Ini menyedihkan.

“O kinodoku ni” jawab saya. Saya turut sedih.

Hari itu adalah hari ke-5 saya bekerja di Tokyo. Ada sebuah konferensi industri yang harus saya hadiri selama satu minggu. Majikan saya membayari semua keperluan saya selama di Tokyo. Namun, sebagai gantinya, saya harus bekerja lembur rata-rata 3-4 jam hampir setiap hari untuk mengikuti semua jadwal konferensi.

Saya sendiri baru tidur jam 12 pada malam sebelumnya, dan harus bangun jam 7 pagi hari ini untuk mengejar jadwal metro. Kalau ini saya anggap keterlaluan, entah bagaimana Keiichi yang hampir setiap hari tidur 4-5 jam saja.

Keiichi bukan satu-satunya.
​
Saya tinggal di sebuah penginapan di Chiyoda-ku. Setiap hari saya menempuh 90 menit perjalanan metro menuju tempat konferensi di pinggiran Tokyo. Setiap hari pula saya berpapasan dengan buruh-buruh kantoran yang bergegas di trotoar, di metro, di stasiun, dan di simpang jalan.

​Banyak dari buruh kantoran ini tampak sangat letih. Mereka tertidur di kereta, di lorong-lorong bawah tanah subway, hingga pingsan di stasiun. Ini adalah hal yang tidak sekali dua kali saya saksikan. Tetapi yang sulit saya pahami, di tengah tekanan kerja tersebut, mereka selalu tampak berusaha teguh dan kuat.

Read More
0 Comments

Pak George dan Kenangan Penghuni Perpustakaan

12/10/2016

0 Comments

 
Picture
Mengenang George Junus Aditjondro berarti mengenang malam-malam panjang, menginap di perpustakaan mungilnya di Yogya. Saya, dan kawan-kawan aktivis yang rumahnya jauh atau tak punya tempat tinggal pasti sering sekali menginap di sini. Selain banyak buku, tempat ini juga nyaman untuk bertemu dengan kawan, berdiskusi dan berbincang.

Dulu dia mengontrak dua rumah mungil di Deresan, tak jauh dari penerbit Kanisius. Satu dijadikannya perpustakaan pribadi, satunya lagi rumah tinggal bersama istrinya, bu Erna. Perpus ini sering jadi tempat kumpul mahasiswanya, kawan, dan tempat singgah bagi aktivis luar kota yang datang ke Jogja. Ada satu ruang tamu, tempat kumpul dan berbincang. Ada dua kamar lain yang berisi rak-rak bukunya. Satu kamar terakhir adalah tempat dia menghabiskan waktu untuk menulis dan istirahat. Hanya sesekali saja dia menginap di kamar ini. “Kalau sedang suntuk di rumah atau tidak ada tempat lain untuk menulis,” katanya suatu kali.

Orang bebas melakukan apa saja, kecuali dua hal: membuang puntung rokok sembarangan dan tidur di ranjangnya. Kalau dua hal ini dilanggar, dia pasti marah besar. Suatu kali dia marah mendapati banyak puntung rokok di halaman. Pernah juga dia mengomel saat melihat seprei kasurnya kusut. Alhasil, kami kena semprot. Padahal, tak satu pun dari kami yang tidur di sana. Tapi kami tak berani membantah. Pak George suka meledak kalo marahnya ditanggapi.

Read More
0 Comments

DAWAI YANG PUTUS: VICTOR JARA DAN KUDETA MILITER CHILE 1973

10/28/2016

3 Comments

 
Terjemahan “The life and death of Victor Jara – a classic feature from the vaults” karya Andrew Tyler. Tulisan Tyler ini merupakan arsip klasik NME dari tahun 1975 yang diambil dari Rock’s Backpages, sebuah arsip daring jurnalisme musik yang ditulis oleh kontributor lepas hingga pers arus-utama sejak tahun 1950-an hingga sekarang, The Guardian memuatnya ulang pada 18 September 2013 untuk memperingati 40 tahun dibunuhnya Victor Jara dalam kudeta milter di Chile.

Terjemahan oleh Yab Sarpote.

Picture
Setelah merenungkan kelamnya akhir dunia, David Bowie* menyampaikan kebenaran yang mengerikan. Dengan sepasang kacamata Republikan Muda dan dagu yang dipinjamnya dari Barry Goldwater, Bowie bercerita bagaimana rock’n’roll adalah “nenek ompong” dan “aib yang memalukan”.

Bahwa akan ada lonjakan tiba-tiba dari perut Amerika. Lonjakan ini akan disebut Dominasi Fasis atas Demokrasi Barat dan semuanya akan baik-baik saja jika orang sudah terbiasa dengannya.

“Akan ada seorang tokoh politik,” katanya, “sebentar lagi yang akan menyapu Amerika layaknya rock’n’roll awal. Hanya perlu ada front kanan ekstrim yang membuat semua orang jatuh hati, lantas membereskan semua kekacauan. Maka, akan muncul bentuk baru liberalisme. Jadi, munculnya pemerintah sayap kanan ekstrim adalah kemungkinan terbaik. Ia akan jadi hal positif yang, setidaknya, memantik gonjang-ganjing di masyarakat, dan rakyat akan punya dua pilihan: menerima kediktatoran atau menumbangkannya.

Read More
3 Comments

ArtJog, Ruang Seni di Era Kapitalisme Industrial, dan Fragmen Ruang Seni Alternatif

6/17/2016

6 Comments

 
Picture
Spanduk sponsor ArtJog 2016
Paling tidak, selama dua minggu terakhir (dan kemungkinan besar masih akan menyisakan proses-prosesnya di kemudian hari), ada polemik di Jogja seputar ArtJog tahun ini. Sebagian kelompok dan individu melayangkan protes, seruan permintaan maaf dari panitia, hingga seruan boikot.

Hal yang menyulut respons resisten ini adalah munculnya logo PT. Freeport di spanduk acara sebagai salah satu sponsor. Kehadiran perusahaan industri ekstraktif yang sudah puluhan tahun jadi salah satu sebab utama kerusakan alam, konflik horizontal, militerisasi wilayah, kekerasan, kerusakan ruang hidup, serta marjinalisasi terhadap pola produksi dan cara hidup masyarakat pribumi di Papua Barat, dipandang sebagai kelalaian, ketidak-pedulian dan tiadanya empati dan rasa solidaritas panitia dan seniman peserta ArtJog terhadap masyarakat Papua yang masih berhadapan dengan kerusakan dan bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh korporasi raksasa tersebut.

Read More
6 Comments
<<Previous

    arsip

    May 2022
    August 2021
    March 2020
    August 2019
    December 2018
    November 2018
    April 2018
    December 2016
    October 2016
    June 2016
    February 2016
    December 2015
    January 2014

    kategori

    All
    Catatan Perjalanan
    Kisah
    Panggung
    Tentang Kawan
    Wacana

    RSS Feed


Powered by Create your own unique website with customizable templates.