Yab Sarpote
  • Home
  • Contact
  • Gallery
  • MEMOAR
  • CrabCorpse Films

MEMOAR

Apakah kita akan mati dalam sepi, seperti mesin?

4/23/2018

0 Comments

 
Picture
Buruh-buruh kebersihan di stasiun Maihama yang sudah berusia lanjut.

“Kinō no yoru wa nanji ni nemashita ka?” tanya saya dengan bahasa Jepang yang compang-camping. Semalam kamu tidur jam berapa?

“Watashi wa, gozen 2-ji ni ne” jawabnya. Jam 2 pagi.

“Shinjirarenai! Anata wa motto nemuru baka desu, Keiichi,” timpal saya. Serius? Kamu harus tidur lebih banyak, Keiichi.

Keiichi tersenyum, lalu meminum 2 cangkir sake. Malam ini dia hampir menghabiskan 1 liter sake sendirian. Dia baru tidur jam 2 pagi hari ini, lalu harus bangun jam 6 pagi untuk bekerja.

“Sudah biasa di Tokyo. Buruh kantoran tidur 4-5 jam hampir setiap hari, apalagi kalau ada acara besar seperti ini,” cerita Keiichi.

Saya menggelengkan kepala.

“Pantas saja banyak buruh kantoran Jepang mati saat bekerja ya?” tanya saya.

“Hai. Di meja kantor, di trotoar, di metro, di stasiun. Sore wa kanashī” jawabnya. Ini menyedihkan.

“O kinodoku ni” jawab saya. Saya turut sedih.

Hari itu adalah hari ke-5 saya bekerja di Tokyo. Ada sebuah konferensi industri yang harus saya hadiri selama satu minggu. Majikan saya membayari semua keperluan saya selama di Tokyo. Namun, sebagai gantinya, saya harus bekerja lembur rata-rata 3-4 jam hampir setiap hari untuk mengikuti semua jadwal konferensi.

Saya sendiri baru tidur jam 12 pada malam sebelumnya, dan harus bangun jam 7 pagi hari ini untuk mengejar jadwal metro. Kalau ini saya anggap keterlaluan, entah bagaimana Keiichi yang hampir setiap hari tidur 4-5 jam saja.

Keiichi bukan satu-satunya.
​
Saya tinggal di sebuah penginapan di Chiyoda-ku. Setiap hari saya menempuh 90 menit perjalanan metro menuju tempat konferensi di pinggiran Tokyo. Setiap hari pula saya berpapasan dengan buruh-buruh kantoran yang bergegas di trotoar, di metro, di stasiun, dan di simpang jalan.

​Banyak dari buruh kantoran ini tampak sangat letih. Mereka tertidur di kereta, di lorong-lorong bawah tanah subway, hingga pingsan di stasiun. Ini adalah hal yang tidak sekali dua kali saya saksikan. Tetapi yang sulit saya pahami, di tengah tekanan kerja tersebut, mereka selalu tampak berusaha teguh dan kuat.

Read More
0 Comments

Pak George dan Kenangan Penghuni Perpustakaan

12/10/2016

0 Comments

 
Picture
Mengenang George Junus Aditjondro berarti mengenang malam-malam panjang, menginap di perpustakaan mungilnya di Yogya. Saya, dan kawan-kawan aktivis yang rumahnya jauh atau tak punya tempat tinggal pasti sering sekali menginap di sini. Selain banyak buku, tempat ini juga nyaman untuk bertemu dengan kawan, berdiskusi dan berbincang.

Dulu dia mengontrak dua rumah mungil di Deresan, tak jauh dari penerbit Kanisius. Satu dijadikannya perpustakaan pribadi, satunya lagi rumah tinggal bersama istrinya, bu Erna. Perpus ini sering jadi tempat kumpul mahasiswanya, kawan, dan tempat singgah bagi aktivis luar kota yang datang ke Jogja. Ada satu ruang tamu, tempat kumpul dan berbincang. Ada dua kamar lain yang berisi rak-rak bukunya. Satu kamar terakhir adalah tempat dia menghabiskan waktu untuk menulis dan istirahat. Hanya sesekali saja dia menginap di kamar ini. “Kalau sedang suntuk di rumah atau tidak ada tempat lain untuk menulis,” katanya suatu kali.

Orang bebas melakukan apa saja, kecuali dua hal: membuang puntung rokok sembarangan dan tidur di ranjangnya. Kalau dua hal ini dilanggar, dia pasti marah besar. Suatu kali dia marah mendapati banyak puntung rokok di halaman. Pernah juga dia mengomel saat melihat seprei kasurnya kusut. Alhasil, kami kena semprot. Padahal, tak satu pun dari kami yang tidur di sana. Tapi kami tak berani membantah. Pak George suka meledak kalo marahnya ditanggapi.

Read More
0 Comments

DAWAI YANG PUTUS: VICTOR JARA DAN KUDETA MILITER CHILE 1973

10/28/2016

3 Comments

 
Terjemahan “The life and death of Victor Jara – a classic feature from the vaults” karya Andrew Tyler. Tulisan Tyler ini merupakan arsip klasik NME dari tahun 1975 yang diambil dari Rock’s Backpages, sebuah arsip daring jurnalisme musik yang ditulis oleh kontributor lepas hingga pers arus-utama sejak tahun 1950-an hingga sekarang, The Guardian memuatnya ulang pada 18 September 2013 untuk memperingati 40 tahun dibunuhnya Victor Jara dalam kudeta milter di Chile.

Terjemahan oleh Yab Sarpote.

Picture
Setelah merenungkan kelamnya akhir dunia, David Bowie* menyampaikan kebenaran yang mengerikan. Dengan sepasang kacamata Republikan Muda dan dagu yang dipinjamnya dari Barry Goldwater, Bowie bercerita bagaimana rock’n’roll adalah “nenek ompong” dan “aib yang memalukan”.

Bahwa akan ada lonjakan tiba-tiba dari perut Amerika. Lonjakan ini akan disebut Dominasi Fasis atas Demokrasi Barat dan semuanya akan baik-baik saja jika orang sudah terbiasa dengannya.

“Akan ada seorang tokoh politik,” katanya, “sebentar lagi yang akan menyapu Amerika layaknya rock’n’roll awal. Hanya perlu ada front kanan ekstrim yang membuat semua orang jatuh hati, lantas membereskan semua kekacauan. Maka, akan muncul bentuk baru liberalisme. Jadi, munculnya pemerintah sayap kanan ekstrim adalah kemungkinan terbaik. Ia akan jadi hal positif yang, setidaknya, memantik gonjang-ganjing di masyarakat, dan rakyat akan punya dua pilihan: menerima kediktatoran atau menumbangkannya.

Read More
3 Comments

    arsip

    March 2020
    August 2019
    December 2018
    November 2018
    April 2018
    December 2016
    October 2016
    June 2016
    February 2016
    December 2015
    January 2014

    kategori

    All
    Catatan Perjalanan
    Kisah
    Panggung
    Tentang Kawan
    Wacana

    RSS Feed


    SINGLE TERBARU: BENIH

Powered by Create your own unique website with customizable templates.